Bocah Gendeng

Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku, Senajan To Akeh Ngelmune Lamun Ora Ditangkarake Lan Ora Digunakake, Ngelmu Iku Tanpa Guna. Sugeng Midangetaken Kalian Nyruput ” KOPI TEH SUSU ” Masih Khas Asli Jawa Timur. No Telp, 081 330 403 439 atau Email : bimokukuponconoko@ymail.com. Nuwun.

Jumat, 11 November 2011

Anggelar Sarung Kang Anyar



Duhai Sanak Kadangku,
Ketika kadang tersadar bahwa ” AGAMA ” yg selama ini diajarkan hanyalah sebuah formalitas ritual ” KOSONG TANPA MAKNA BATIN ” kering kerontang bak padang pasir di gurun Sahara . Bahwa AGAMA seakan-akan hanyalah sarana seleksi untuk memasuki wilayah SURGA atau NERAKA berdasarkan perintah banyak2 amal, sedekah, yg terkumpul dalam segebog iming-iming  ” seKARUNG PAHALA “.Buku-buku yang Sanak Kadang baca semuanya langsung menjelaskan tata cara tanpa bisa menerangkan ” LANDASAN FUNDAMENTAL “. Apa arti sebenarnya ini poro Sanak Kadangku??. Apakah kehidupan akan menjadi SEDANGKAL ini hingga sampainya hari kematian kelak??. Dari buku-buku yg Sanak Kadang baca itu didektekan bagaimana manusia diciptakan untuk beribadah, tapi BERIBADAH yang seperti apa?? Bisakah Sanak Kadang tekun menjalankan dan melaksanakan ibadah tanpa sedikitpun MEMAHAMI MAKNANYA??.

Duhai Sanak Kadangku,
Ketika kita mulai berani JUJUR pada DIRI SENDIRI, bahwa Kitab-kitab yg di Sucikan yg tak lain hanyalah sebuah ” KITAB GARING ” yg saat Sanak Kadang membacanya terasa ABSTRAK, ACAK dan tak terjangkau MAKNANYA. Sanak Kadang pasti akan bertanya-tanya, ketika Kitab GARING tadi memanggil ” Wahai orang-orang yg BERIMAN “ benarkah KITA termasuk di dalamnya?? Apakah yg bisa MEMBUKTIKANNYA?? Dan ketika KITA tidak merasa lagi yakin bahwa KITA tidak termasuk di dalam kelompok kaum yg disebutkan disana, ketika Kitab GARING tadi berbicara tentang golongan manusia yg TERSESAT, maka KITA mulai ramai-ramai berbondong-bondong dalam sederet ANTRIAN yg tanpa seorang komando untuk mencari-cari sosok figur PANUTAN, orang yg dapat KITA jadikan pembimbing kehidupan KITA untuk membukakan TABIR CAKRAWALA KESADARAN sang PRIBADI. Maka mulailah KITA mengikuti berbagai ritual KEAGAMAAN dalam bentuk PENGAJIAN ini dan itu…PELATIHAN SPIRITUAL ini dan itu. Memaksakan diri untuk meraih SERPIHAN MAKNA yg mungkin TERSERAK di dalamnya. Tapi ternyata, setelah sekian lama, KITA tidak juga memperolehnya. Pada suatu titik kulminasi tertinggi, mulailah timbul berupa KEJENUHAN, ada hujaman pertanyaan yg MENDOBRAK,MUNTAH SEMBURAT dan MUNCRAT begitu saja keluar dari bibir KITA. Mengapa kata ” YESUS,MUHAMMAD ” lebih banyak disebutkan dari pada ALLAH, ( Gusti kang Moho Suci,Sang Hyang Widi dll ). Mengapa demi YESUS, MUHAMMAD dan bukan demi ALLAH ( Gusti kang Moho Suci, Sang Hyang Widi dll )??. Mengapa hanya mengingat YESUS,MUHAMMAD dan seakan-akan melupakan Tuhan Pencipta Semesta Alam?? Dimanakah Sang Sumber URIP~HIDUP dari segala SUMBER itu BERSINGGASANA??. Di LANGITkah??? di Hamparan Pantai kah??? di Lembah Ngarai kah??? atau di Rumah rumah Ibadah itukah??? Dalam keterbatasan AKAL PIKIRAN kita dalam mencerna mengobrak abrik bayangan Angan angan dan Ilusi. Akhirnya mulailah KITA merindukan HAKEKAT KESUJATIAN DIRI yg terserak di sela-sela hamparan Ilalang mengering. Tanpa KITA sadari, mata ini  mulai MELEK sedikit demi sedikit menatapi berbagai TINGKAH POLAH isi Alam Semesta ini. Tanpa mampu bicara sepatah katapun, dengan caranya ALAM membuat KITA paham bahwa tidak ada yg salah dalam kehidupan selama ini. Alam menjelaskan bahwa semua kegagalan dan kegelisahan ini hanyalah semata-mata sebuah panggilan sayang dari pada Tuhan Pencipta Langit dan Bumi kepada KITA. Kenapa??? Agar KITA sadar dan MELEK bahwa KITA telah melupakan HAKIKAT MAKNA kehidupan hingga tersesat menjauh dari jalan lurusnya.

Duhai Sanak Kadangku,
Resapilah….pada saat KITA telah sampai pada kematangan dan kesiapan untuk membuka lebar-lebar jendela HATI sang PRIBADI lalu,…tiba tiba saja… mak bejudhul…mak bedunduk… muncul berbagai pertanyaan…SIAPAKAH AKU sebenarnya?? Untuk apa AKU terlahir di Alam KEGELAPAN ini?? Kemana AKU kembali?? Manunggalkah, Nyawijikah?? Atau masih BERCERAI BERAI menuntaskan PENYEMPURNAAN-Ku?? Tahukah AKU jalan kembali??? Tiba tiba saja,…..Blaaaaaaaaaarrr….Jedhuuueeeeeeeerrrr….” Man arfa Nafsahu waqad arafa Robbahu “…Kenalilah DIRIMU…URIPMU…HIDUPMU…maka engkau akan MENGENAL sang SUMBER URIPMU~HIDUPMU.

Siapakah SEMAR ... ???


Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
  1. tidak pernah lapar
  2. tidak pernah mengantuk
  3. tidak pernah jatuh cinta
  4. tidak pernah bersedih
  5. tidak pernah merasa capek
  6. tidak pernah menderita sakit
  7. tidak pernah kepanasan
  8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi. 

Sangkan Paraning Dumadi


Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang
berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”. Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.
Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.

Kawruhana sejatining urip
Urip ana jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi pencokan benjang
Awja kongsi kaleru
Umpama lunga sesanja
Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih
Mulih mula mulanya


Ketahuilah sejatinya hidup,
Hidup di dalam alam dunia,
Ibarat perumpamaan mampir minum,
Seumpama burung terbang,
Pergi dari kurungannya,
Dimana hinggapnya besok,
Jangan sampai keliru,
Umpama orang pergi bertandang,
Saling bertandang, yang pasti bakal pulang,
Pulang ke asal mulanya,

Kemanakah kita bakal ‘pulang’?
Kemanakah setelah kita ‘mampir ngombe’ di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari ‘kurungan’ (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.
Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:

“Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip, akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya.” (“Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia”)
Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?
Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:

“Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan.” (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan”)
Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:

“Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati”. (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:

“Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip.”

(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.