Bocah Gendeng

Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku, Senajan To Akeh Ngelmune Lamun Ora Ditangkarake Lan Ora Digunakake, Ngelmu Iku Tanpa Guna. Sugeng Midangetaken Kalian Nyruput ” KOPI TEH SUSU ” Masih Khas Asli Jawa Timur. No Telp, 081 330 403 439 atau Email : bimokukuponconoko@ymail.com. Nuwun.

Minggu, 13 November 2011

Tahta Lan Raja


SINGGASANA TAHTA TANAH JAWA MERUPAKAN CIKAL BAKAL “WAHYUNING” PURWOREJO HADI PURWO

Sungguh sangat ironis sekali bila kita bicara tentang kata “Singgasana Tahta” maka hal ini akan berakibat timbul suatu pertanyaan beruntun : siapa, apa, bagaimana dan dimana ?. Mengapa hal ini menjadi ironis, jika kita sadari bersama bahwa “Wong cilik atau turune wong tedhak pidak pejarakan” sangat jauh dari jangkauan “Wahyu Keprabon” yang identik dengan “Wahyu Cakraningrat”. Disini kami selaku seorang sepiritualis dan pengamat dunia metafisika dengan ijin “Alloh Subhanalloh Ta’ala dan Li riddoillah wali safaati Rosullilah hi Solollohu Alaihi Wassallam sekaligus para Dahyang Tanah Jawa / Nusantara” ingin memberikan suatu wacana dan pengetahuan bahkan sebuah kesaksian kepada para pembaca yang tercinta untuk mengetahui, mengerti dan mencintai Tanah Air Nusantara bahkan kota Purworejo Hadipurwo ini. Kami menggunakan istilah Purworejo Hadipurwo karena belum adanya lisensi publik dan pengakuan dari wilayah kerajaan setempat yang lebih muda di bandingkan dengan bumi Bagelen / Purworejo, mestinya Bagelen / Purworejo lebih berhak menggunakan istilah “Hadiningkrat” karena jika melihat sejarah lebih tua dan “Wahyu Keprabon” lebih dahulu bersemayam di bumi Bagelen / Purworejo ini. Berkiblat dari orde rotasi / perputaran wahyu, bahwa wahyu bibit kawit / berasal dari Jawa Timur dan matang di Jawa Tengah sebelah selatan termasuk Purworejo Hadipurwo, hal ini terbukti pada masa kejayaan “Mataram Kuno” telah berdiri dan tersebar kerajaan di daerah Purworejo Hadipurwo dengan bukti autentik “Prasasti Kayu Arahiwang” hal demikian menandakan bahwa “Wahyu Keprabon / Wahyu Kerajaan” telah bersemayam di bumi Purworejo Hadipurwo. Sehingga Purworejo Hadipurwo secara nyata telah melahirkan orang-orang besar yang berkiprah untuk Bangsa dan Negara Indonesai tercinta ini. Perlu panjenengan ketahui bahwa Wahyu Nusantara itu sebenarnya kembar, semula jaman kejayaan Majapahit yang diemban oleh Prabu Brawijaya yang diemong / diasuh oleh “Sabdo Palon dan Naya Genggong” yang selalu membawa wahyu kembar bernama “Jas Dongker Kuluk Mekutoromo” dan “Payung Sleret Tunggul Naga” dua hal inilah yang merupakan “Wahyu Keprabon” sehingga Majapahit dapat mengalami masa keemasan dan kejayaannya. Namun ketika Brawijaya tergoda wanita Campa hingga melahirkan Raden Patah dan Islam masuk terjadilah bencana dan huru hara. Ketika menjelang keruntuhannya Majapahit dipimpin oleh Brawijaya Pamungkas terkenal dengan sebutan Sunan Lawu. karena kecewa Sapdo Palon Naya Genggong melebur diri bersatu menjadi “Semar Badranaya” yang selalu membawa “Wahyu Jas Dongker Kuluk Mekutoromo” yang bersifat adem, ayem tentrem, wicaksana dan manunggaling kawula, sedangkan “Payung Sleret Tunggul Naga”bersifat panas, kadonyan, kewanitaan dan hawa nafsu jatuh kelautan bebas sekitar “Alas Purwo Banyuwangi” sehingga di terima oleh “Ibu Ratumas Segara Kidul”. Dengan hilangnya kedua wahyu tersebut sehingga Majapahit runtuh. Sapdo Palaon Naya Genggong dengan kata akhir meninggalkan saksi “Semasa masih ada pohon jarak dan pohon dadap yang hidup, berarti aku masih hidup” kata Sabdo Palon dan Naya Genggong. Ditinjau dari dunia metafisika bahwa mitos Sang Penguasa Pantai Selatan sungguh benar-benar ada hal ini dapat dilihat secara nyata bahwa banyak kerajaan dijaman dulu selalu di dekat pinggir kali atau pantai, hal ini oleh raja dimaksudkan untuk berhubungan dengan Sang Penguasa Pantai sangatlah mudah dikarenakan sungai merupakan jalan pintas para utusan atau Sang Penguasa Pantai sendiri untuk berhubungan. Namun di jaman global seperti sekarang hal ini sangat “musrik” dan “tabu” untuk dibicarakan. Hal ini kami sadari karena mereka tidak mengerti adanya dunia maya diluar kita. Atas ijin panjenengan sami para sesepuh golongan putih dan golongan apapun serta “Ibu Ratu Mas Segara Kidul” perkenankanlah kami untuk mengungkap hal tsb. Kenyataan perjalanan laku spiritual kami, bahwa Sang Penguasa Pantai Selatan itu ada 3 (tiga) kekuatan dan kenampakan yaitu : “Ibu Ratumas Segara Kidul, Ratu Kidul dan Mbok Rara Kidul”. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (tritunggal), sebagai pemegang tampuk pimpinan paling bijaksana adalah Ibu Ratumas Segara Kidul dan keduanya adalah merupakan patih njero (dalam) dan patih njobo (luar). Mengapa kami berbicara masalah Ibu Ratumas Segara Kidul ? Karena setelah Nusantara merdeka, bahwa Presiden RI pertama Ir. Soekarno pun mengikuti laku tirakat para Raja Jawa terutama Raja Mataram untuk bermitra dengan Ibu Ratumas Segara Kidul (Ingat Kamar di Hotel Samodra Beach), sehingga Presiden RI karena ketulusan dan kebersihan jiwanya dapat mendapatkan “Jas Dongker Kuluk Mekutoromo” dan “Payung Sleret Tunggul Naga” sehingga Nusantara pernah jaya ketika dipimpin beliau namun “ndilalah kersane jawata” karena sifat dari Wahyu Payung Sleret Tunggul Naga adalah lambang nafsu dan wanita yang akhirnya runtuhlah. Ketika pemerintahan Soeharto, beliau yang satu ini juga doyan laku tirakat yang tidak lain adalah untuk menggapai wahyu, dari perjalanan laku ritualnya beliau mendapatkan “Wahyu” yang diemban langsung oleh Ibu Ratumas Segara Kidul sehingga pada masa kejayaannya beliau disanding langsung, hingga pemerintahannya bisa berlangsung lama. Keruntuhan pemerintahan Soeharto karena diawali adanya gugatan gaib dibulan sura tahun 1998 yang diprakarsai oleh “Semar Badranaya”. Ketika itu Semar mengutus seorang kesatria untuk melaksanakan “Dharmaning Kesatria Menyongsong Tumuruning Wahyu Tanah Jawa” kesatria tersebut adalah “Satria Putih” yang mempunyai makna gramatikal “Sinar Alloh Tumurun Rakhmat Ingkang Agung Pratanda Ujuding Titah Ingkang Hamemayu” Kesatria ini berada di Padepokan Agung “Garuda Cakra” di Lereng Menoreh daerah Perdikan Singgelopura atau lebih di kenal Lowanuh atau Lowano atau Loano. Cakramanggilingan merupakan perputaran wahyu yang sudah saatnya untuk manunggal menjadi satu antara Wahyu “Jas Dongker Kuluk Mekutoromo” dan Wahyu “Payung Sleret Tunggul Naga”.Pertapan Satria Putih dilaksanakan dipinggir Kali Bengawan Bogowonto hingga pertemuan dengan Ibu Ratumas Segara Kidul selama 40 (empatpuluh) malam untuk memohon kembalinya wahyu, pertentangan dan pertempuran sengit antara Raden Rangga yang merupakan manusia setengah siluman adalah (putra Raja Mataram Panembahan Senopati dengan Ibu Ratumas Segara Kidul) yang tidak menginginkan wahyu untuk dikembalikan, namun pertarungan tak dapat terelakkan sehingga kemenangan pada Satria Putih. Wahyu tanah jawa tersebut dengan keiklasan Ibu Ratumas Segara Kidul diserahkan kepada Satria Putih yang selanjutnya diterima, disatukan dan digembol / dibawa oleh “Semar Badranaya” dengan iringan Suara Adzan, Iqomat dan tembang ilir-ilir serta ejaan bacaan hurup jawa (ha, na, ca, ra, ka, da ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma ga, ba, tha, nga) yang dilantunkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, makna apakah yang tersirat dari kejadian tersebut ?. Benar-benar terjadi, malam wahyu diserahkan pagi hari terdengar khabar Ibu Tien Soeharto meninggal dunia, ada hubungan apakah dibalik ini ? Dan berlarut-larut demo menentang kekuasaan Soeharto tak dapat dielakan oleh pemuda dan mahasiwa. Mestinya sekarang sudah saatnya Nusantara kembali seperti kejayaan jaman Majapahit karena wahyu telah bersatu tinggal siapakah (wadah) yang siap untuk disemayami / dihinggapi oleh wahyu tersebut ?. “Barang siapa ingin menjadi orang nomor satu di Nusantara ”carilah“ Semar Badranaya” dan pintalah wahyu tersebut ? kalau anda beruntung mendapatkan dan diemong oleh “Semar Badranaya ” saya mengatakan “haqul yakin” andalah calon orang nomor satu di nusantara yang akan membawa obor kejayaan negeri ini dari puing-puing kehancuran. Wisik jaman mengatakan (maaf saya ulas kembali pada penerbitan SM Selasa, 30 – 12 – 2003 hal 27) yaitu “SINATRIO KONDUR DATAN WARINGIN RUBUH LINAMBARAN WARONO SETO”. Sudah siapkah pohon beringin untuk dibangkitkan oleh kesatria yang bersih hati, wicaksana dan hambeg parama arta. Kesatria ini sinamar sehingga sering dikatakan “Semune pudhak kesungsang” atau lebih jelas lagi “Satria Piningit” Harapan para leluhur tanah jawa kesatria tersebut adalah sinebut gelar “Pangeran Heru Cakra” jika kita kembangkan lebih jauh harapan tersebut tercermin pada gelar raja kerajaan Mataram yaitu “Senopati Ing Ngalogo Khalifatullah Sayidin Panata Gama” Kembali pada Purworejo Hadipurwo menurut peta penyebaran wahyu gaib, bahwa daerah ini pernah dan merupakan lintasan pusar kedua wahyu tersebut, maka dimungkinkan suatu ketika dari Purworejo Hadipurwo ada pemimpin agung yang akan bangkit dan “Noto Nagoro” nusantara ini. Namun perlu di ingat untuk para pejabat baik pejabat politik ataupun pejabat birokrasi di Purworejo Hadipurwo, karena daerah ini merupakan basis lintasan wahyu maka aura kekuatan magis tersebut akan terpancar seantero Purworejo bahkan nusantara ini hingga siapapun yang terlintas kekuatan tersebut godaanya adalah “Tahta, Harta, dan yang paling utama adalah Wanita” bagi yang tidak kuasa menahan godaan taruhannya “Jabatan” (puncak karier ya cukup disitu saja atau akan turun bahkan kalau maju palagan akan kalah / apes) atau yang lebih parah lagi bakal “Ngunduh Wohing Pakarti” dikemudian hari. Ingatlah para pejabat kalau yang bukan hak dan bukan Ridlo Alloh anda lakukan jangan menyesal apabila para leluhur Purworejo Hadipurwo marah dan sumpah serapah “anda akan kwalat”. Untuk menetralisir agar saudara para pejabat di Purworejo Hadipurwo tidak mudah tergoda adalah selalu ingat pada YME dan keluarga yang selalu setia menanti dirumah. Sebagai pusat aura kekuatan Purworejo Hadipurwo ada pada kedua beringin kembar ditengah alun-alun Purworejo, sejenaklah anda merenung apa yang akan dan telah anda lakukan dengan menatap kedua pohon beringin kembar tersebut, lihatlah dengan mata bathin anda disana akan terlintas suatu bangunan “Sanggar Pamujan” jika ditarik garis lurus ke utara akan bertemu pada salah satu “Kamar di Dalem Agung Kadipaten” dan bila ditarik garis lurus ke selatan akan bertemu suatu tempat di desa “Watukuro” yang tidak lain menuju pantai selatan. Sanggar tersebut dikendalikan oleh sepasang kakek dan nenek berjubah putih beliau adalah “Panembahan Agung Atas Angin” atau lebih dikenal oleh para Ulama Sufi daerah Jawa Timur adalah “Kyai Atas Angin” dari Bagelen. Yang merupakan sebuah misteri timbulnya Kerajaan Bagelen dan yang sekarang ini menjadi Purworejo Hadipurwo. Insayaalah anda akan sluman, slumun, slamet tansah sumingkir bebaya rubeda giri goda lan patemboyo adem, ayem tentrem gemah ripah loh jinawi tata tur raharja. (mohon maaf tempat tersebut bukan untuk disembah dan dipuja) Demikian sekilas wacana dan kesaksian yang dapat saya tuturkan semoga dapat menjadikan pengetahuan atau laku dan instropeksi anda untuk “ngupadi” wahyu keprabon tersebut, untuk kebenaran peristiwa tersebut kembali kami serahkan pada yang di atas sana “Allahualam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar