Ada
beberapa istilah atau sebutan yang dipakai oleh masyarakat, untuk
menamakan dukun dengan sebutan: suhu, paranormal, kesepuhan, guru
spiritual, dan sebagainya. Hal itu tergantung dari kepentingannya.
Jenis-jenis
dukun, ada yang disebut: dukun cabul, dukun palsu, dukun santet, dukun
bayi (dukun beranak), dukun sunat, dukun pengantin, dukun sangkal putung
dan sebagainya. Hal itu menunjuk pada perilaku dan spesialisasi dari
dukun tersebut.
Dengan
terang-terangan, sindiran atau cara lain yang rasanya kurang simpatik,
dari kelompok tertentu ada yang menganggap bahwa profesi dukun
bertentangan dengan ajaran agama. Hal tersebut bisa dengan alasan yang
mendasar maupun karena sentimen pribadi.
Sentimen
tersebut biasanya hanya diarahkan kepada dukun secara perseorangan atau
kelompok dukun secara kecil-kecilan. Artinya bila ada kelompok
berkelembagaan besar, yang berperilaku seperti dukun, malah tidak
menjadi sorotan atau sasaran dari sentimen tersebut.
Timbul
juga dugaan bahwa sentimen tersebut muncul karena adanya kekhawatiran,
kalau-kalau menyaingi hakikat dari suatu ajaran agama dalam realita
kehidupan. Walaupun dalam hal lain, sentimen berbau kecemburuan kadang
menunjukkan bahwa kemampuan menjabarkembangkan suatu paham masih kurang.
Maka
tidak menutup kemungkinan, yang bersikap sentimen negatif kepada dukun
atau kelembagaan seperti dukun, dia sendiri menjadi dukun atau
memanfaatkan jasa perdukunan. Baik disadari atau tidak.
2. Berbagai Istilah
Dukun
dengan sebutan suhu, biasanya diarahkan kepada dukun yang kebetulan
Warga Keturunan Cina. Namun dengan berkembangnya pergaulan dan
pembauran, dukun berlatar belakang pribumi pun disebut atau menyebut
dirinya suhu. Walaupun pembauran perilaku lebih penting dari pada
pembauran perkataan.
Sebutan
dukun sebagai paranormal, dimana kata ini berasal dari serapan bahasa
asing, mungkin dimaksudkan agar profesi perdukunan kedengaran lebih
keren dan sedikit terangkat dari keterpurukan gara-gara sentimen
negatif.
Dukun
disebut kesepuhan yang berasal Bahasa Jawa yang artinya tua atau
dituakan. Pada era 70-an, kebanyakan para dukun sudah berusia 40 tahun
atau lebih. Mungkin ada kekhawatiran bila belum mencapai usia tersebut
tidak akan kuat. Dalam arti perilakunya tidak mencerminkan ketuaannya.
Namun
karena kemajuan jaman dan berkembangnya wawasan, boleh jadi dalam usia
muda bisa saja menjadi dukun. Tentunya setelah melalui proses
pembelajaran dan pematangan dari ajaran pedukunan. Dukun dengan sebutan
kesepuhan seakan membawa resiko moral dan dapat “terhindar” dari sebutan
dukun yang bertentangan dengan ajaran agama.
Meskipun
modal dasar untuk menjadi dukun hanyalah mau dan mampu, namun ada
tantangan kompetensi didalam meraih pangsa pasar. Dari hal inilah kadang
ada dukun yang secara pamer, mempertontonkan kemampuan menyantet
didepan kamera televisi. Dimana pamer adalah perilaku yang dianggap tabu
oleh orang yang berbudaya timur.
Dukun
yang suka pamer itulah yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran
agama. Karena pamer terdorong oleh rasa sombong. Sedangkan sombong
adalah biang dari segala dosa. Namun kesombongan sebagai sifat naluri
manusia, sulit rasanya dibendung. Karena bersifat naluriah, maka
manusia, apapun latar belakangnya, kemungkinan melakukannya. Termasuk
juga manusia yang berpredikat Ustad, misalnya berlaku sombong dengan
pamer kekuatan.
Pamer
kekuatan dengan alasan Jihad Fi Sabilillah untuk membela Allah, atau
berjuang di jalan Allah. Manakala ada peristiwa serangan terhadap negara
atau kawasan Islam. Dengan berbondong-bondong mendaftar sebagai laskar
jihad. Kenapa hal tersebut termasuk sombong? Sebab perilakunya melebihi
kemampuannya dan diluar kewenangannya.
Bukankah
perang itu operasi militer. Tentunya memakai segala peralatan canggih.
Pemilihan perseorangan prajuritnyapun dengan saringan yang ketat. Mana
mungkin orang sipil mampu. Kecuali bagi yang pernah memperoleh
pendidikan militer dinegara asing secara ilegal.
Bukankah
lebih tepat mewujudkan Rahmatan Lil Alamin dengan ikut membantu
mencegah, membantu saat terjadi maupun sesudah terjadinya suatu bencana
merupakan perjuangan di jalan Allah? Karena membantu para korban bencana
adalah perilaku utama yang langsung dapat dirasakan oleh sesama hidup.
Bila
ingin terkesan Jihad dengan perang melawan musuh, disekitar kita banyak
musuh yang sulit dilawan. Berupa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan
dan keterbencanaan. Karena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan
keterbencanaan merupakan lawan dari sifat rahman dan rahim, maka perang
melawan hal-hal tersebut merupakan Jihad yang sejati. Jihad fi
Sabilillah Arrahman dan Arrahim.
Kesepuhan
yang dimaksud adalah kedewasaan dengan tingkat kematangan jiwa. Namun
kedewasaan dalam hal ini tidak sama dengan usia tua. Dewasa asal kata
dewa dan rasa. Dewa artinya pancaran cahaya Illahi. Maka bagi yang sudah
bisa menerima, merasakan dan mengamalkan pancaran cahaya Illahi itulah
yang dimaksud dewasa.
Kedewasaan
dalam hal ini dapat dicapai antara lain dengan cara memperbanyak rasa
ingat kepada Tuhan. Dan sebaik-baik dari menyebut Nama Tuhan adalah
dzikirullah. Dan tidak akan masuk neraka bagi yang menyebut nama Allah.
Ada
dukun yang oleh para pasien pelanggannya atau penganutnya, disebut
sebagai guru spiritual. Yang bisa dimintai pertolongan untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada kaitanya dengan hal-hal kegaiban atau tak kasat
mata.
Bila
dukun memperlakukan para pasiennya dengan ramah penuh rasa kekeluargaan
dan berhasil didalam memberikan pertolongan, tidak menutup kemungkinan
akan datang lagi dengan membawa pasien baru. Pada giliranya akan membawa
keakraban yang membuat kesan seakan-akan sang dukun sebagai orang
tuanya yang kedua. Karena dalam kenyataan sehari-hari banyak orang atau
keluarga merasa kehilangan orang tua kedua yang artinya kehilangan tokoh
yang dapat diajak komunikasi dengan transparan dalam kepribadian.
Andai
ada pelanggan tetap dari dukun, seharusnya dibatasi hanya pada rasa
kagum yang wajar saja. Jangan sampai ada rasa memuja-muja secara
berlebih-lebihan, seakan mempertuhankan dukun. Karena memuja selain
kepada Allah berarti memberhalakan. Sikap memberhalakan memang dilarang
oleh agama. Baik memberhalakan dukun, memberhalakan kyai, memberhalakan
harta dan juga kedudukan.
Maka kekaguman pada sebatas rasa sebagai anak kepada orang tuanya. Dan etika anak kepada orang tua antara lain adalah bisa mikul dhuwur mendem jero.
Artinya bisa memikul setinggi-tingginya kepada apa yang menjadi
kebaikanya dan memendam sedalam-dalamnya apa yang menjadi kekurangannya
sebagai manusia lumrah.
Hal
tersebut bisa dengan cara mengkritik secara sopan dan mengingatkan
secara santun, disaat suasana hati sedang tenang, misalnya dengan
mengatakan:”… Bapak pernah mengatakan.. pernah memerintahkan,.. pernah
melarang.. dsb”
Diantara
pasien yang menjadi pelanggan tetap, menganggap si dukun sebagai orang
tua yang kedua, kemungkinan ada yang berminat menimba ilmunya. Bila dia
berhasil menjadi pewaris ilmunya, bila kelak berhasil didalam memberikan
pertolongan kepada pasiennya, dia mendapat satu poin, maka gurunya
mendapat dua poin nilai kebaikan dalam kematianya kelak.
Karena
Pak Ustadz dan Mbah Kyai pernah mengatakan: “Bila mati anak adam,
hilanglah semua amalnya, kecuali amal tiga perkara, yaitu ilmu yang
bermanfaat, amal yang soleh dan sadaqah jariyah.” Dalam hal ini pewaris
ilmu mengamalkan ilmu yang bermanfaat, dan si dukun mengajarkan ilmu
yang bermanfaat tadi kepada siswanya.
Ilmu
yang bermanfaat tidak harus ilmu agama, tetapi tidak boleh bertentangan
dengan agama. Meskipun agama sebagai sumber ilmu, bisa juga
terpecah-pecah menjadi beberapa madzhab atau sekte yang saling berebut
kebenaran aqidah.
Bermanfaat
disini karena dapat memberikan pertolongan kepada orang lain. Dan jasa
pertolongan tidak akan mendapatkan pasaran manakala tidak bermanfaat.
Banyaknya pasien, merupakan bukti, bahwa jasa perdukunan punya pangsa
pasar juga. Pangsa pasar untuk barang dan jasa apapun, dibutuhkan
kemampuan bersaing dalam kualitas. Dan tak ada peraturan yang melarang
dukun berebut pasaran dengan cara berlomba kebaikan.
Tetapi
ada dukun yang terkesan alot bila diminta mewariskan ilmunya. Semua itu
berujung pada kekhawatiran, bila muridnya lebih pintar, pada gilirannya
nanti dapat mengancam pasarannya.
Dukun
semacam itu mementingkan diri sendiri, dan akan selalu dihantui
kekhawatiran kehilangan citra dan kharisma. Pada hal, ajaran apapun,
bila sudah tertumpangi kepentingan pribadi atau kelompok, akan
bergeserlah aturan dan norma, disesuaikan dengan pemaksaan kehendaknya,
meskipun ajaran agama memesankan bahwa janganlah mengukur (ajaran) agama
dengan kehendak pribadi.
Dukun
yang tidak ingin kehilangan pasaran, haruslah rajin mengembangkan diri
dengan banyak membaca tulisan, membaca suasana hati orang, membaca
gejala alam dan juga belajar membaca denah kapal terbang yang hilang dan
kapal laut yang tenggelam. Tentang membaca ini sebagaimana diwahyukan
kepada Rasulullah dalam Surat Al Alaq.
Celakalah
dukun yang memberikan pertolongan dengan pertimbangan tebal-tipisnya
amplop. Juga oknum ustadz yang enggan dipanggil mengaji pada kali kedua,
manakala kali pertama honornya tidak sesuai perjanjian, meskipun
harusnya selalu mengingatkan kepada para pendengar dakwah, bahwa para
Nabi didalam berdakwah tak ada yang menerima rupiah.
3. Jenis-jenis Dukun
Batasan
istilah dukun kira-kira artinya, suatu profesi pelayanan masyarakat
dengan menggunakan ilmu atau keahlian tertentu, dimana keahlianya itu
diperoleh melalui pembelajaran secara tutur tinular antar pribadi.
Dikatakan
profesi, karena kesulitan kami dalam memakai kata yang tepat. Pada hal
profesi tertentu, sering membentuk kelembagaan dengan
mengorganisasikanya. Namun sampai sekarang belum terdengar ada
organisasi Persatuan Dukun Indonesia.
Karena
proses pembelajaran ilmu perdukunan yang bersifat les prifat, maka
belum ada jenjang organisasi persekolahannya. Keadaan semacam ini
teralami sejak istilah dukun ini ada sampai dengan makalah ini dibuat.
Laku
mirip dengan kegiatan perdukunan, baik yang tidak maupun yang
ditayangkan di televisi, tentang misteri alam gaib, pemburu hantu dan
sejenisnyapun belum ada Sekolah Dasar Alam Gaib, Sekolah Lanjutan Alam
Gaib, Perguruan Tinggi Alam Gaib sampai menghasilkan Sarjana Alam Gaib.
Dimana penayangannya di televisi, para penonton tidak tahu pasti, apa
yang mereka lakukan itu benar-benar atau hanya sekedar bisnis siaran.
Benar
dan tidaknya tayangan tersebut diatas memang tidak diperlukan, bila
dilihat dari bisnis siaran, yang sudah barang tentu dirancang agar dapat
menarik minat penonton untuk memperhatikannya. Meskipun ada juga
penonton yang sempat menyeletuk: “Kalau sekedar jelalatan dan penampakan
berupa trik kamera, akupun bisa.”
Memang
ada bukti, ketika televisi ramai-ramai menayangkan kesurupan masal,
tidak serta merta diikuti kepedulian dari yang punya acara mirip laku
pedukungan yang disiarkan itu, ada upaya penyembuhan atas kesurupan
masal tadi. Tidakkah kasihan kepada oknum ustadz yang berusaha menolong
tetapi malah kesurupan juga.
Secara
sinonim, kata dukun artinya kira-kira tukang atau pawang. Dukun cabul
artinya tukang mencabuli orang. Dukung santet artinya tukang yang
memberikan jasa penyantetan, yang konon korbannya bisa mati mengenaskan,
mirip ditayangan sinetron bernafaskan keagamaan itu.
Sinetron
semacam itu seakan memberikan gambaran kelak akan terjadi seperti itu.
Kelak akan tejadi berarti meramal. Khusus dukun ramal, artinya tukang
nujum. Namun bukan berarti pemapar mengatakan bahwa pengarang cerita
sinetron yang kabarnya ustadz itu sebagai dukun ramal dengan menggunakan
media sinetron. Karena biasanya membicarakan kejelekan pribadi seorang
ustadz dapat memulai terpicunya konflik sara. Jangan pula sampai terjadi
konflik antara dukun dengan ustadz, apalagi ustadz yang menjadi dukun.
Dukun
palsu artinya tukang memalsukan, bukan dukun tetapi memplokamirkan
dirinya sebagai dukun. Dukun pijat artinya tukang memijat badan lelah.
Tentu saja bukan tukang pijat seperti di panti-panti pijat, dimana
pemijatnya konon cewek-cewek cantik, yang terkadang malah “dipijat” oleh
tamunya dengan meminta bayaran yang cukup tinggi. Agaknya pasien
dipanti pijat itu lelah dan terlalu jenuh dengan keseharianya, yang
sibuk mengobok-obok hidung sendiri yang belang.
Dukun
sunat artinya tukang melayani permintaan jasa khitanan. Tempo dulu
dukun sunat cukup laris. Dengan banyaknya dokter dan perawat yang
memberikan jasa penyunatan, kini pemakai jasa dukun sunat hanya orang
tradisional saja.
Sudah
barang tentu ustadz dan kyai yang mengalami jaman dukun sunat, pernah
juga meminta jasa penyunatan kepada dukun. Bila hal ini juga dilarang
oleh agama, dimana mengakibatkan hilang ibadah shalatnya selama empat
puluh hari, na udzu billahi mindzalik.
Istilah
dukun yang dekat pengertiannya dengan kata pawang, yaitu dukun atau
pawang ular, buaya, pawang hujan, pawang burung berkicau dan sebagainya.
Meskipun pawang burung hanya mampu mengendalikan perilaku hewan burung,
dan tidak bisa mencegah dan mengobati flu burung.
Dan
berbahagialah, burung-burung piaraan para oknum pejabat, yang
memperoleh layanan khusus sehingga dianggap bebas dari flu burung dan
bebas pula dari pembantaian massal.
Unggas-unggas
yang menjadi penyebab manusia tertular virus yang mematikan itu memang
patut bila dibantai. Ini pandangan dari sisi kesehatan. Tetapi bila
dilihat dari kepentingan pelestarian alam, perlu penelusuran mendalam
tentang kebenarannya.
Pelestarian
satwa liar demi keseimbangan alam, perlu disepakati bersama. Jangan
sampai terjadi lagi bencana alam dan merebaknya penyakit endemik yang
menyebabkan kesengsaraan. Kesengsaraan yang ditimbulkan tidak cukup
hanya ditutupi dengan pakaian seragam para pejabat dan jubah para
ustadz, yang biasanya digunakan untuk menutupi operasi satwa langka.
Penyakit
yang menjangkit secara endemik dari ternak dan hewan piaraan, mungkin
berasal dari satwa langka yang seharusnya bebas di habitatnya. Karena
dipelihara dengan segala macam layanan hidupnya yang tidak lagi alamiah,
maka tidak menutup kemungkinan tingkat ketahanannya menjadi berkurang.
Karena perkembangbiakan, ketahanan hidup dan kematiannya adalah alamiah,
dengan membentuk rantai makanan sebagaimana adanya.
Bagi
yang rendah tingkat ketahanannya pada penyakit dan rendah pula upaya
pertahanan hidupnya, akan sakit dan mati karena seleksi habitatnya.
Sakit,
kerusakan dan kematian akan memberikan makanan pada koloni tertentu
yang akhirnya akan terurai dan menyuburkan hutan. Kesuburan hutan yang
pasti akan mencegah banjir dan tanah longsor. Karena pelestarian hewan
dan tumbuhan liar erat sekali kaitanya, maka tidak mengheranan apabila
ada semacam rentetan waktu antara bencana alam dengan penyakit endemik.
Dan
berbahagialah, dukun yang berusaha memperluas wawasan sains. Apalagi
yang bisa dihubungkan dengan Kitabullah, yang mengatakan bahwa: Anugerah
berasal dari Allah dan musibah berasal dari manusia. Akan tetapi
pemapar tidak berani mengatakan, bahwa pemelihara hewan liar adalah
biang terjadinya bencana. Apalagi bila yang mengatakan hal tersebut
adalah dukun yang berlatar PNS, sedangkan yang terkena kritiknya itu
oknum pejabat, bisa terancam karirnya.
Pun
juga tidak mengatakan, bahwa apabila kita secara kebetulan ada oknum
pemuka agama dan pemuka masyarakat yang memelihara hewan liar itu adalah
pemicu bencana dan penyakit. Sebab pemicu, penyebab dan biang antara
keduanya, bencana dan penyakit, merupakan perbuatan keji dan mungkar.
Yang sudah barang tentu perbuatan keji dan mungkar itu yang menyebabkan
orang kehilangan hikmah dari ibadah shalatnya.
Lalu
apa yang pemapar maksudkan didalam pernyataan ini? Hanyalah sekedar
menanggapi kenyataan yang sedang melanda bangsa dan negara. Barangkali
dapat menjadi sebutir pasir, dalam upaya pelestarian alam untuk mencegah
bencana alam dan berbagai penyakit. Namun juga bukan berarti pemapar
akan memplokamasikan diri, bahwasannya sikap mencintai alam dan
lingkungan hidup adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Pemapar
hanya ingin berusaha menjalankan apa yang pernah dikhotbahkan oleh para
khotib, bahwa, amalkan ilmu bagi orang yang berilmu, amalkan harta bagi
yang mampu dan amalkan tenaga bagi yang tidak berilmu dan berharta.
Dimana hal itu merupakan kewajiban para hamba kepada khaliknya, tanpa
pamrih memperoleh anugerah bagi pribadinya, selain hanya mewujudkan
rahmatan lil alamin.
Dalam
rangka ikut mewujudkan rahmatan lil alamin, tidak perlu
digembar-gemborkan lewat mass media atau loud speaker. Tidak juga dengan
cara berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai laskar jihad. Karena
pemapar sendiri nyaris menyebabkan ibu pemapar mati sahid saat
melahirkan. Dan ibu pemapar juga belum pernah mendaftarkan diri sebagai
laskar jihad.
Dari
sisi pengertian tentang dukun sunat, dukun pengantin, dukun pijat,
pawang hujan, pawang burung dan sebagainya, agaknya bukan termasuk
kategori dukun yang dilarang oleh agama. Karena kemungkinan tokoh-tokoh
agama ada yang menggunakan jasanya.
Yang
dianggap terlarang mungkin dukun yang dapat meramal nasib, meramalkan
kejadian yang akan datang, mengerti masa lalu seseorang, terjadi kapan
tsunami dan sebagainya. Pada pokok-dukun peramal. Karena konon, ramalan
itu bersumber dari rencana Allah yang berhasil disadap oleh setan, dan
selanjutnya dukun diberitai (baca diberi berita) oleh setan.
Perihal
setan, malaikat, surga, neraka, kiamat dan sebagainya, adalah hal-hal
yang bersifat supra natural, dimana manusia biasa tidak bisa
menginderanya. Jelasnya, secara awam manusia sulit membedakan antara
perilaku setan dan malaikat. Yang diketahui adalah kriteria sifat dari
setan dan malaikat. Setan sebagai musuh nyata manusia karena suka
menggoda. Sedangkan malaikat sebagai utusan Allah yang bersifat Gaib.
Dalam
hal gaib, termasuk didalamnya setan, malaikat, jin, ruh dan alam gaib
lainnya, menyatu didalam sifat kegaibannya. Dalam hal ini gaib yang baik
dan yang buruk dalam satu keberadaan. Tentang baik dan buruk,
selanjutnya diukur dengan rasa nurani.
Manusia
hidup terdiri dari jasmani dan ruhani. Ruhani bersifat gaib. Maka
apabila manusia mau memberdayakan daya gaib dari ruhnya sendiri, untuk
menyingkap misteri gaib, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan
mencapai kemampuan “ngerti sakdurunge winarah”, yang merupakan perolehan dari suatu laku, adalah merupakan upaya menggunakan hak kemandiriannya.
Para
wali dan tokoh-tokoh legenda masa lalu yang bukan wali, sama-sama
mempunyai kemampuan supra natural. Namun pihak tertentu mengatakan yang
bukan wali, kemampuannya merupakan ilmu sesat. Walaupun kadang tidak
jelas perbedaan antara yang sesat dan yang tidak sesat. Tetapi
sebagaimana yang pemapar katakan didepan, seagama tetapi berbeda sekte
juga saling tuding kesesatan, apalagi yang tidak seagama. Maka dari hal
inilah dapat diketahui, tingkat kedewasaan seseorang dalam pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran Keesaan Tuhan.
Pada
prinsipnya, shalat merupakan tiang agama. Shalat yang afdol dilakukan
tepat waktu, dalam arti, mencegah perbuatan keji dan mungkar jangan
ditunda-tunda. Bila sudah nampak kebaikan perilaku dan manfaat bagi
orang lain, maka orang lain akan menirunya, tanpa harus digembori. Dan
hal inilah yang dapat ditarik hikmah, bahwa sebaik-baik shalat,
dilakukan secara berjamaah. Yang sudah datang pertama menempati tempat
shalat pada shaf depan. Artinya yang sudah mendahului mencegah perbuatan
keji dan mungkar, berada pada barisan terdepan dalam perilaku luhur
budi. Yang demikian akan mempercepat dan memperlancar proses menuju
rahmatan lil alamin. Menuju dunia yang penuh rahmat Allah, agar terwujud
baldatun toyibatun wa robun gofur.
Bencana
alam dan penyakit menimbulkan sakit dan derita lainnya. Dan kata para
ulama: “Bukan muslim sejati, bagi yang menyakiti (hati) orang dengan
lisannya dan menyakiti (jasmani) orang dengan anggota badannya”. Bila
hadis tersebut diatas dijadikan tolok ukur, maka dapatlah diukur salah
tidaknya bagi muslim yang menyiksa TKI, menyinggung perasaan orang dan
berbohong. Apalagi yang melakukan aksi teror. Bila hal tersebut
dikerucutkan, kelihatannya keadaan sekarang perlu mensejatikan orang
muslim, agar menjadi suri tauladan dalam membangun rahmatan lil alamin.
Bukan sekedar alim, alim pulasan. Sebagaimana terkidungkan di Serat
Wedatama.
Anggapan
bahwa ilmu dukun adalah ilmu setan, kenyataannya bukan hanya dukun saja
yang dapat digoda setan. Semua manusia. Semua anak Adam. Apapun latar
belakangnya. Tidak terkecuali oknum Menteri Agama, yang berusaha
menggali harta karun di seputar Istana Bogor. Walaupun hasilnya hanya
menggigit jari dengan resiko malu digelar.
Andai
benar ada harta karun disana, berniat untuk mendapatkannya saja sudah
berdosa. Hukumnya haram, kata Ulama. Pada hal target terkecil untuk
orang yang paling awam dalam ihwal agama, minimal takut dosa dan tahu
malu. Dari itulah maka perbuatan diatas tak takut dosa dan tak tahu
malu. Takut dosa adalah ihwal habluminallah, sedangkan tahu malu adalah
ihwal habluminanas. Tentang kasus upaya menggali harta karun diatas,
secara habluminanas, bukan pribadi knum saja yang menanggung malu,
tetapi melibatkan instansi yang nota bene Departemen Agama, suatu
kelembagaan yang dekat dengan citra Islam.
Bila
dukun dapat menasihati kearah kebaikan yang dapat diamalkan oleh murid
dan kliennya, dengan sendirinya bukan ajaran setan yang diberikan, dan
tidak ada alasan untuk dianggap menghilangkan hikmah shalat seseorang,
manakala mendekatinya. Seperti dikemukakan didepan, bahwasanya perbuatan
keji dan mungkar dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan monopoli dukun
saja. Perbuatan keji dan mungkar biasanya menumpang pada hawa nafsu.
Maka terbuktilah kebenarannya, bahwasannya musuh terbesar umat manusia
adalah hawa nafsu.
Dikatakan,
manakala seorang muslim membaca: “audzubillahi minas syaitanirrajim”,
akan terbebas dari godaan setan. Tetapi pengalaman pemapar berjalan
bersama teman berlatar belakang ustadz, ditengah malam lewat kuburan
yang konon angker, kebetulan malam Jum’at Kliwon. Pemapar sengaja
bercerita hal yang seram-seram. Ternyata teman tadi lari tunggang
langgang sambil membaca kalimah diatas dengan gemetaran.
Peristiwa
kecil itu agaknya menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Maka benarlah
sabda Rasul: “Iman dahulu, baru Islam”. Kalau hanya gara-gara melewati
kuburan saja, iman seorang ustadz sudah goyah, apalagi godaan yang lebih
berat. Misalnya berlama-lama didalam goa untuk melakukan do’a dan
ritual lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Goa
Hira.
Bila
seorang atau sekelompok orang (baca dukun), melakukan ritual ditepi
pantai sebagaimana yang dilakukan Nabi Hidlir dan Nabi Musa, dalam
rangka berupaya meningkatkan ketahanan iman dan mengagumi ciptaan Tuhan,
janganlah dipandang suatu kemusrikan dan kemunafikan, sambil
membuktikan lafal “audzubillahi minas syaitanirrajim” sangat mustajab
apabila digunakan untuk berdo’a. jangan asal membaca do’a, tetapi
dihayati dilubuk hati yang paling dalam dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kata
orang, berdo’a yang memenuhi syarat kebenaran obyektif adalah dengan
menggunakan bahasa hati nurani, tahu makna kata yang tersurat dan
memahami hakikat yang tersirat. Bila di sertai penghayatan yang mendalam
dengan penuh perasaan dihati yang selalu ingat kepada Tuhan, niscaya
akan lebih sambung, ketimbang dengan sejumlah kalimat panjang yang
membebani memori pada penalaran. Andai beban tadi merupakan hambatan,
maka akan menghalangi kemampuan keheningan rasa. Dari itulah maka secara
pengalaman pribadi, dzikirullah dan fikirullah terasa lebih sambung,
karen ringannya beban yang harus dihafal.
Bila
secara kebetulan ada tokoh yang melarang seseorang untuk meminta
pertolongan kepada dukun, mungkin orang itu sedang dalam keadaan lupa,
bahwa dirinya ketika sedang lelah meminta pertolongan kepada dukun
pijat. Waktu khitan dikerjakan oleh dukun sunat. Jadi pengantin dirias
oleh dukun pengantin, dan meminta pertolongan kepada dukun sangkal
putung bila sedang terkilir.
Pemahaman
sebagian orang awam, mana kala bukan dokter dan bukan paramedis, tetapi
memberikan layanan bidang kesehatan, disebut dukun. Dan kenyataannya,
dukun bisa berasal dari petani, pedagang, PNS, abangan, priyayi juga
santri. Namun yang berasal dari santri lebih suka disebut taabib. Tabib
dalam Bahasa Arab yang artinya dukun.
Bila
dukun yang bukan berasal dari santri dikonotasikan jelek, maka mungkin
anggapan itu lebih bersifat sentimen pribadi atau kelompok, yang
berujung pada persaingan.
Dan
persaingan semacam itu jugalah yang pada akhirnya membuahkan
terpecah-pecahnya agama menjadi beberapa mahdzab. Dimana masing-masing
mahdzab bersikukuh bahwa hanya merekalah yang paling benar dan calon
penghuni syurga, yang lain akan masuk neraka.
Mungkin
tak disadari, bahwa sikap ingin benar sendiri, termasuk mendahului
iradah Allah, bahwasannya untuk menentukan siapa-siapa yang bakal masuk
surga dan neraka, harus melalui proses “interogasi” oleh Allah. Padahal
anggapan mendahului kuasa (iradah) Allah, sering dialamatkan kepada
dukun.
4. Sasaran Sentimen
Bahwasannya
perilaku seseorang biasanya menganut suatu sumber. Sumber itu diperoleh
melalui para penentu kecenderungan. Penentu kecenderungan adalah
seseorang atau sekelompok orang yang bisa diteladani. Dimana
keteladanannya sudah teruji kebenarannya.
Para
penentu kecenderungan tercakup didalam institusi kecenderungan. Contoh
institusi sebagai penentu kecenderungan adalah: badan-badan keagamaan,
organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya.
Tokoh-tokoh penentu kecenderungan misalnya: para pemuka agama, pejabat
pemerintah, para pengurus partai politik, para pengurus organisasi
sosial kemasyarakatan dan tokoh yang dituakan di masyarakat. Termasuk
didalamnya adalah keberadaan keraton.
Bila
para dukun masih berkebiasaan menggunakan pusaka-pusaka seperti keris
dan sejenisnya, toh dia sebagai penganut kecenderungan. Sumber
kecenderungannya adalah Keraton Yogya, Solo dan Cirebon.
Kebiasaan seperti itu, bila dilakukan oleh dukun ada yang menghujat,
tetapi bila dilakukan oleh keraton, belum ada yang berani menghujat. Dan
tidak menimbulkan reaksi apa-apa, meskipun menganggap kerbau hewan
keramat dan disebut kyai.
Bila
dukun melakukan ritual di goa, ada yang menganggap jelek, dengan tidak
mengingat proses turunnya Surat Al Alaq. Bila dukun melakukan ritual
digunung dianggap laku kejelekan, tanpa mengingat bahwa Nabi Musa
melihat Cahaya Illahi juga di Gunung Tursina. Bila dukun melakukan
ritual di makam keramat, dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa ibadah
haji sebagian rukunnya adalah ziarah ke makam para nabi. Bila dukun
melakukan ritual dipantai juga dianggap jelek, tanpa mengingat bahwa
pertemuan antara Nabi Musa dengan gurunya (Nabi Khidlir), juga ditepi
pantai.
Perilaku
dukun seperti tersebut diatas, adalah suatu bentuk perilaku budaya
batin. Dimana perilaku budaya pada umumnya ada yang dibolehkan, meskipun
nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama. Yaitu pengawetan jenasah
Fir’aun di Mesir. Maka dari itulah, dengan perkataan lain, sasaraan
sentimen negatif hanya diaarahkan kepada dukun sebagai kelompok kecil.
Tetapi bukan berarti pemapar ingin mengatakan bahwa, kelompok penghujat
dukun beraninya hanya kepada anak kecil.
5. Kesimpulan
Dukun
sebagai pelayan jasa kepada masyarakat, tak dapaat dipertahankan
keberadaannya, bila tidak mempunyai nilai guna dimasyarakat.
Dukun bisa berasal dari berbagai latar belakang.
Tidak semua dukun salah dan tidak semua dukun benar.
Sentimen negatif arahkan pada penentu kecenderungan dari perilaku dukun.
Masalah
benar dan salah, semua orang bisa mengalami. Dan pernyataan salah atau
benar yang adil adalah pernyataan dengan kebenaran yang obytektif dari
seluruh aspek.
PANCA GAIB DAN ADIATMA
Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI.
I. KUNCI
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
1 Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
2 Tinarbuka
rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye sejatine kahanaNe
Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka kabeh kang ana ing jagad
gedhe lan jagad cilik,
yang artinya: terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan
tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua
yang ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan
kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
3 Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya makro kosmos dan mikro kosmos.
4 Nutup,
kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa nepsu kang
kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa nutupi ras
sesambungan gaib marang Gusti kawula,
yang artinya: menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari
luapan hawa nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila
dilepas bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan
hambanya.
5 Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan tethukulan uga alam saisine,
yang artinya: rukun dengan pengertian menyatukan rasa dengan keberadaan
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan juga alam seisinya. Anggap semua
manusia itu saudara, dan anggap hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah
anugerah Tuhan yang harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
bersama.
6 Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
7 Suci,
kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak, amarga ati
sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang Maha Suci, mula
aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang sipate ora suci,
artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam pikiran, perkataan dan
perbuatan, karena hati nurani dan seluruh tubuh itu adalah anugerah dari
Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah mudah mengisi dengan segala
sesuatu yang sifatnya tidak suci.
8 Dadi,
kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan kang
samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine KUNCI,
artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang dikehendaki
menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa memahami apa yang
tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua
itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna, artinya
apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi kata serta
dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang hakekat hidup,
disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan perasaan yang berKetuhanan
Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang terdalam dari yang tersirat
dan tersurat di dalam KUNCI.
Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci
artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk
menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri denga
Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng. Dan
khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis
paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna, akan menghasilkan:
1 Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
2 Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
3 Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
4 Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
5 Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
6 Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
7 Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
1 GUSTI INGKANG MAHA SUCI,
yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai tempat berlindung, sebagai
asal semua makhluk dan sekaligus sebagai tempat kembalinya semua
makhluk.
2 KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI,
artinya: saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai
hamba yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon
maaf dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan
dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi
perbuatan dosanya.
3 SIROLAH,
artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya berasal dari
Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan manusia mempunyai
naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini pulalah yang menjembatani
hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan Yang Maha Suci, Sirolah
adalah unsur terkecil yang sangat halus dan lembut, akan tetapi
mempunyai kekuatan yang amat besar.
4 DATOLAH,
artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci,
Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka dari itu harus di
jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal ini adalah mudah
terkena penyakit, mudah terkena musibah dan sebagainya. Maka harus
selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini adalah sebagai tempat
bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah mengandung unsur atau anasir
sarinya: api, air, angin dan tanah, yang semuanya dalam wujud ether.
Anasir-anasir yang berwujud ether ini apabila digerakkan menurut susunan
molekul dan bentuk medan
magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan
tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah dengan
membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang tekun dan
teratur.
Ether
dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan hawa
nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut sak serik,
yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata pak kyai, orang
sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan
membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan mengendalikan
nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang diajarkan agama, dan
janganlah atau kurang benar kiranya apabila melakukan puasa diluar
perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan yang baik adalah, makanlah
pada waktu makan, cobalah tinggalkan makanan pokok dan sekaligus
tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal dari unsur hewan. Kebiasaan ini
oleh orang jawa dinamakan ngrowot, yang didalam bahasa sanskerta
dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan Himsa artinya melakukan kekerasan.
Baik
pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah hari
lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri mengalami
kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan dijalankan. Dan
karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh disebut puasa diluar
perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap berat dalam melakukan ahimsa
adalah tidak boleh marah selama menjalankanya. Apabila terpaksa marah
sebaiknya dibatalkan dulu, dan lakukan kali lain. Pantangan terberat
kedua adalah tidak boleh membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja.
Ini semua karena mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak
boleh melakukan kekerasan.
Sedangkan
cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan melakukan latihan
pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh sembarangan melakukan
hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi
yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri sebagai
kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan melestarikan jenis.
Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan memperhatikan waktu dan
tempat yang terhormat. Waktu yang tepat untuk itu adalah lewat tengah
malam. Karena pada saat itu sudah cukup waktu beristirahat, maka kecil
kemungkinan untuk diganggu oleh apa dan siapapun juga. Karena orang yang
berbudaya, didalam melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi
manakala ada gangguan sedikit saja.
5 SIPATOLAH,
artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar perilaku atau
tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci. Apabila Sirolah
dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber energi, maka sipatolah
berfungsi sebagai alat penggerak dari energi itu, sesuai dengan sifat
peralatan yang ada serta dibudidayakan dapat bergerak sesuai dengan
medan magnet dan orbit nucleusnya, maka terbentuk penimbunan tenaga
dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan supranatural serta
membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk semua manusia tanpa
kecuali, asal mau membudidayakanya.
Karena
gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya menyerupai
gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana sifat dan
bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap orang, sesuai
dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada yang menyebutnya
daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu pengertian yang disingkat MB.
Apabila
MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan yang positif,
maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-hal yang positif
juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi rendahnya tingkat
keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana perilaku orangnya, dalam
arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan ketelatenan. Maka
kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu ajaran dan satu
tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah
satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri ini juga
dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan supranatural
juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya akan timbiul
dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran apapun, yakni
bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang mendesak, yang karena
keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu mendorong seseorang untuk
bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya
pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran, untuk
mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat sambil
berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam keadaan
normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain misalnya
seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat dengan
setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi kemampuan
biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara kebetulan nalurinya
mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu penting, ternyata benar,
meskipun sebelumnya belum ada pemberitahuan.
Demikianlah
sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula oleh hewan.
Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila didekatnya ada kepulan
asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan tempat mereka hidup, akan
terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca suasana hanya dengan
kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan nalar dan fikiran, karena
memang mereka tidak memilikinya.
6 KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA,
artinya saya sebenarnya satria/wanita yang seharusnya sanggup
menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau
didalam bahasa jawa disebut: Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan tersurat didalam Kunci.
Disamping
itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata Satria. Yang
asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam, Tri artinya tiga
dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah: eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima.
Yang artinya kepada Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang
didasari rasa sabar, rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang
lebih mendalam akan penulis sampaikan pada tulisan lain.
Sedangkan
tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang Maha Esa,
Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci.
Dan kadang-kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad
atau Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat
sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi.
Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan perintah
Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar menjadi manusia
yang baik.
Apabila
semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat dilaksanakan
dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut bisa mencapai
tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas nama sang adhiatma.
Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi
artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya manusia yang
hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi didalam rasa dan
naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya memperoleh kebebasan jiwa
dari belenggu hawa nafsu duniawi.
Menurut
kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa membias pada
orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi Awatara atau
titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma tidaklah mudah, karena
hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh secara kehendak hati dari
yang bersangkutan dan dirinya tak benar-benar memproklamiskanya, dalam
arti tidak benar bahwa seseorang adalah titisanNya.
Cirri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
a. Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
b. Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu dengan Tuhannya.
c. Tinggi
rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa berguru
sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni dan hal itu
seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh tuntunan Ilmu
Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu akan kalah tingkat
rasa Ketuhanannya.
d. Tidak
merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan tetapi
sebaliknya selalu meras masih banyak ilmu Ketuhanan yang perlu
dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa
dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
e. Banyak
dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda dan
anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar
belakang kehidupan pribadi setiap orang.
f. Bersedia
menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang yang
kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua cirri-ciri yang
terakhir dan tersendiri adalah:
g. Ada
ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah
keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada lidahnya.
Dan masih ada cirri-ciri lain yang tak dapat disebutkan disini, dimana
atas cirri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya sebelum diberi tahu
oleh orang lain.
Dari
ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan terakhir,
akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain. Maka dari itu
pengertian yang menyangkut dari ketujuh cirri-ciri tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.
Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing panggawe”.
Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma artinya hukum
yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya sendiri. Karma
dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan Karma dari peri laku
jelek disebut Asubha Karma.
Subha
Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati Moksa.
Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari belenggu hawa
nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan Asubha karma terjelek
adalah apabila mati seseorang menitis pada hewan.
Apabila
seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut akan terbebas
dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia, sebagai manusia
lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara yang selanjutnya
disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan dunia. Sedangkan Atma
dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu kembali kepada Tuhan dan
tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh Tuhan.
Sebenarnya
semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan memenuhi
syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti yang tersurat
dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai tataran mati Moksa,
semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis untuk merubah
peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai dengan tujuh kali
peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut:
a. ADI DAIWA
Yaitu
Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun. Mungkin
diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-tugas Ketuhanan.
Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya yang bersifat langgeng,
dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu keajaiban-keajaiban diatas
rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran cerita pewayangan, orang
tersebut dinamakan Maha Resi.
b. ADHI BATHARA
Yaitu
manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali saja.
Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma didalam
hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali itu, orang
tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-kira setingkat
di bawah Maha Resi.
c. ADHI JAWATA
Yaitu
Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak dua kali
dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha Karma. Karena
pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru pada penitisan
yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam nilai keluhuran
budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali itulah dia akan
terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai kemampuan spiritual
setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah Resi.
d. ADHI BRAHMANA
Yaitu
atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan tiga
kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh spiritual
yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.
e. ADHI KSATRIA
Adalah
atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang keempat. Kelak
akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal menjadi ponggawa negara
atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan
seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada penitisan
yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat disebut
Adhiatma.
f. ADHI WAISYA
Adalah
Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang menjalani
keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad manusia yang
bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin, seniman dan
sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran budi pekerti,
kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi manusia dalam
kelompok Adhi Ksatria.
g. ADHI SUDRA
Adalah
Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya kurang,
maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang yang rendah
derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi Sudra didalam
hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi Adhi Waisya.
h. ADHI BHUTA
Yaitu
atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya pada
penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan yang
terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai keluhuran
budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis pada
manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi Bhuta,
yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi Bhuta
adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.
Maka
apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi Bhuta,
sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang bernilai
keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan pelestarian
alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi Sudra. Dan
sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik, kelak bila
mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.
Sebaliknya
apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi Ksatria, Adhi
Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu mengamalkan
keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan mengutamakan
kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup, maka kelak
akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan penitisan
paling tinggi.
Karena
manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun dalam
hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi Bathara
didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk mempertahankan
agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi
Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan langsung begitu saja
untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.
Dari
sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul aliran
kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon maaf, dari
uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai istilah ajaran
agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama Islam. Dan maksud
dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya penyerapan khasanah
budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar dari agama dimasa
lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang menjadi agama baru.
Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap seakan-akan menjadi
pemeluk agama yang menjadi akar budaya spiritualnya itu, apabila
kebetulan bukan agama yang dianutnya.
Dalam
kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non fisik
dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan sejarah,
banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan hanya
sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya
dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno, mesjid,
keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.
Dari
uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar
mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa,
walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis
menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya
masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri,
itupun bagi yang mau saja.
Dan
sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk sebagai
bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan berurat
akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya nama-nama
instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya dengan
mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno dari
agama tertentu.
Dari
hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut seperti:
Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya Paksi, Bhineka
Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina Graha, Tamtama,
Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu tanpa disertai
sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu diambil.
7 NYUWUN WICAKSANA,
Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan bijaksana ini menjadi
pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan untuk menjadi orany
bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan perasaan orang,
seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu tertentu.
Jangan
sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak sesuai
dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai dengan
norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku bijaksana
adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu Jiwa
Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga akan
dapat membaca suasana jiwa seseorang.
Bila
bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan seseorang
selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang benar-benar
menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini kecuali orang yang
ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat keuntungan jiwa, karena
salah satu upaya awet muda adalah murah senyum. Jangan tunjukkan pada
orang lain bahwa kita sedang dilanda konflik misalnya. Jangan sampai
sedang marah dengan salah satu anggota keluarga, lalu pada orang lain
masih terbawa sikap cemberut dengan muka kecut.
Orang
yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula mudah
berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa dengan
orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal dan suka
kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih diantara mereka.
Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain selalu membicarakan
keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa yang telah dimiliki
dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya semua itu sipat menuju
kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang yang sombong, belum tentu
benar-benar memiliki apa yang disombongkanya.
Dan
sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang haus
pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus dapat
mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan secara
semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu. Ambilah celah
pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai dasar-dasar
norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita ajak bicara akan
beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di dengar akan tetapi
sulit dibantah.
Mulailah
berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara, sesekali pujilah
dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya apakah anak isteri
dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia berbicara dengan
keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan
pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan maksud kepadanya.
8 NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi sampurnaning pati.
Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan hidup dan kesempurnaan
bila mati kelak. Bekal untuk menuju kesempurnaan hidup adalah temen
yang artinya bersungguh-sunguh dan bekal untuk menuju agar selamat
diakhirat adalah kesucian didalam pikiran dan perbuatan, berlandaskan
kehalusan perasaan yang selalu berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Jangan
sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan mendustai orang
lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin, dan keselamatan
didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang banyak berupa
harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar tercukupi hidup
sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan keluhuran budi
pekerti.
9 KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan Yang Maha Satu.
Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib),
yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu
agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada
pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita sejati
dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis sebagai
Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.
10 KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.
Maka
pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar dapat
selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan bahkan
memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat meningkat,
sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut Karma Pahala
atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang selalu pas antara
yang diperbuat dengan akibatnya.
Demikian
sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit karena apabila
isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.
II. PAWELING
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam diri ini:
1 Tumata dayaning raga,
yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam arti tidak terlalu
membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna akan tetapi
dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat berhasil dan berdaya guna
sebaik-baiknya.
2 Tumata dayaning cipta,
yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak menghamburkan daya ciptanya
dengan cara yang tidak tepat dan dalam bentuk daya cipta yang kurang
baik. Maka tidaklah benar apabila daya cipta dipergunakan untuk
merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan dengan menjiplak daya cipta
orang lain dan tidak menghargai.
3 Tumata dayaning rasa,
yang artinya teratur dan terarah rasa perasaanya. Rasa sedih misalnya,
kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha Suci, sebagai bagian Tapa Brata.
Rasa gembira kita abdikan kepadaNya sebagai pengakuan atas anugerahNya
yang wajib disukuri selalu. Serta jangan selalu menghambur-hamburkan
rasa perasaan yang tidak enak, oleh sebab itu janganlah berhenti didalam
keadaan ketakutan, kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila
merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya. Apabila tidak
bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan tidak lupa selalu
berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali, luput lan apes
yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita mohon untuk
diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar tidak selalu
malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang bersifat
langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo atau sang
Guru Sejati.
Didalam
pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang
berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat
Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan
cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya
Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari
kata Div yang artinya cahaya.
Maka
kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat dari
tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa. Dam
menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan diatas Adhi
Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan untuk
menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo yang
biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat
Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana
wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.
Namun
kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari Romo,
disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo dalam Bahasa
Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran inilah maka
sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh Budaya Spiritual
Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak, lalu dipersamakan
dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap ketitisan Ismoyo
atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak
pernah lahir dan menitis sebagai manusia.
Menurut
paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang didalam
Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan secara fisik
dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi turun kebumi,
bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.
Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya Hanyinungi atau silih raga
untuk tujuan melindungi, dengan cara memasukkan sebagian kuasa
spiritualnya kepada orang yang dipilih dan digunakan untuk itu. Namun
demikian tidak sembarang orang benar-benar kesinungan Ismoyo. Dan orang
yang kesinungan selanjutnya disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi
sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara wantah.
Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan falsafah
bagaimana dan siapakan Semar itu.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar
artinya tidak jelas benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan
sebagainya. Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada
bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa
semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.
Maka
apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan kawruh
gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik , disertai sikap
sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan
wanita sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan
lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian
ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib mengenai
keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat Langgeng. Bukan
sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki manusia dan apalagi
gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan Perayangan.
Maka
seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat bersifat
Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana, dalam
penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai
pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong
siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu sifat
Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan siapa
yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi singkat kat
seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya tidak
mempunyai musuh yang berujud manusia.
Dan
digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun carangan
Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah menyelesaikan
masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan damai dengan
kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi pihak-pihak
yang berseteru.
Maka
secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu dituntut
oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu Ketuhanan,
Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu Jiwa, Ilmu udaya
Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang disebutkan terdahulu. Dari
semua itu dapat ditarik kesimpulan makna Ssemar secara harfiah, sifat
Semar universal adanya, dalam arti kapanpun dan dimanapun Sifat Semar
bisa ada, sepanjang sepanjang dijaman dan di tempat itu masih ada orang
yang memiliki sifat terpuji.
Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti embat-embating catur
artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan
dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari
fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.
Disamping
itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia bergelar
Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang Pemelihara alam.
Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA FALSAFAH
Untuk
memudahkan menarik kesimpulan secara falsafah, baiklah ditarik
pesan-pesan kefilsaftan yang terkandung didalam wayang. Didalam cerita
wayang, Semar digambarkan sebagai tiga dewa bersaudara, yakni Dewa
Antaga, Dewa Ismaya dan Dewa Manikmaya. Selanjutnya Dewa Antaga menjelma
menjadi manusia bernama Togog, yang bertugas yang bertugas sebagai
pamomong orang-orang “seberang”. Yang dimaksud seberang adalah
orang-orang yang perilakunya menyeberang dari nilai keluhuran budi.
Sedangkan
Dewa Ismaya menjelma menjadi Semar, yang bertugas sebagai pamomong para
satriya yang berbudi luhur. Dewa Manikmaya selanjutnya bergelar Bathara
Guru, yang menjadi raja dari para dewa dan bertahta di Jungring Salaka,
asal kata Ujung Giri Kailasa atau puncak gunung yang selalu berawan
dibukit Himalaya. Hima artinya awan dan laya artinya tempat.
Tiga
dewa itu asalnya dari sebutir telur gaib yang mengeluarkan cahaya tapi
bukan api. Mungkin semacam bermuatan radiasi, yang melayang-layang
diangkasa. Setelah berhasil ditangkap oleh Hyang Wenang, kemudian
di”sidikara” maka berubahlah setelah terlebih dahulu tercerai berai.
Cangkang telur berubah menjadi Antaga, putih telur menjadi Ismaya dan
kuning telur berubah menjadi Manik Maya.
Seterusnya
Antaga si sulung, dan Manik Maya si bungsu, sesuai dengan asal
muasalnya. Antaga menjadi Togog sebagai pamomong orang-orang yang
berwatak kasar, keras dan kuat sesuai dengan sifat cangkang atau kulit
telur. Namun demikian selalu dapat dikalahkan oleh para satriya sejati
yang selalu diemong oleh Semar, sesuai sifatnya berasal dari putih telur
yang bening, tidak mudah dicerna, tidak mudah membusuk, awet dan
bersifat melekat. Akan tetapi tidak bisa menjadi embrio.
Maka
sifat Semar adalah putih, bening, sulit dicerna, tidak membusuk dan
awet. Putih sebagai lambang kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan.
Sulit dicerna dalam pengertian sulit diduga, susah dipahami tak gampang
dimengerti jalan pikiranya, sebelum sampai pada akhir permasalahan atau
akhir suatu cerita. Tak dapat tumbuh menjadi individu baru dalam arti
kehadiranya didunia tidak secara wantah atau secara fisik, tetapi
hanyalah pancaran sifat-sifat terpuji atas dorongan rasa Ketuhananya,
orang yang berjiwa Semar mempunyai sifat dapat ngemong para satriya sejati yang luhur budi pekertinya.
Cara ngemong
dengan pelayanan yang sama, baik dalam keadaan sependapat ataupun dalam
keadaan bertentangan denganya, dengan tidak memperhitungkn untung dan
rugi, tanpa berpikir untuk memperhitungkan upah, karena ia selalu
berpikir bahwasanya pamomong hanya mempunyai kewajiban berderma
tanpa memperhitungkan hasil dari derma itu. Karena perbuatan baik tidak
harus digembar-gemborkan, karena semua itu merupakan urusan penderma
dengan Tuhanya. Dan menanamkan kebajikan tidak seharusnya selalu diingt,
tetapi sebaiknya, apabila hutang budi janganlah dilupakan.
Demikian
dengan serba sedikit dan sangat sederhana, ingin ikut meluruskan kepada
kesalah tafsiran didalam usaha membabar jati diri Sang Semar didalam
kehidupan sehari-hari maupun didalam ruang lingkup Budaya Spiritual
Jawa, yang terkadang terlanjur menganggap bahwa seseorang atau tokoh
tertentu dianggap romo dalam arti Roh Ismoyo oleh para penganutnya
dengan pengkultusan yang keliru.
Namun
juga tidak menutup kemungkinan ada oknum tokoh spiritual yang secara
sengaja memproklamirkan dirinya sebagai orang yang kesinungan Ismoyo
secara tidak bertanggung jawab dan agar dirinya selalu dianggap orang
yang lebih berkharisma dengan kesinungan Ismoyo tadi, yang pada
giliranya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi saja, yang
tak urung akan menipu bahkan menjerumuskan pencari berkah.
Dari
itulah tulisan kecil ini bertujuan untuk membantu para penghayat Budaya
Jawa, agar sedikit dapat membedakan, apakah seseorang benar-benar
kesinungan Ismoyo atau hanya di Ismoyo-kan oleh para penganutnya atau
hanya pura-pura kesinungan Ismoyo.
Kembali
ke pokok masalah didalam uraian tentang PAWELING, bahwa satriya sejati
yang sudah bisa menghayati atau mengamalkan Isi Kunci, dengan kemampuan anggelar dan anggulungnya, mereka itu pada dasarnya adalah para putra Romo. Putra dalam arti Puput ing Rasa artinya sudah cukup sempurna dalam olah rasa dengan tujuan angudi manunggaling Gusti Kawula, dan selalu berbakti kepada Romo ingkang pinundhi,
yaitu sekali lagi Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, atau Roh Mono
yang tidak berujud jasad manusia, yang tidak pernah dilahirkan, dan
bukan seperti yang digambarkan didalam cerita wayang.
Dimana
di dalam wayang kadang kala juga di plesetkan oleh dalangnya dari pakem
yang baku, demi untuk memperoleh popularitas, yang tanpa disadarinya
sebenarnya pelecehan pakem juga melecehkan diri Sang Dalang itu sendiri,
sebagai tokoh yang wasis ngudal piwulang.
Maka
sudah barang tentu Semar bukanlah tokoh perseorangan yang berperawakan
gemuk pendek, kuncungan, bergigi satu dan bertelanjang dada, seperti
digambarkan didalam wayang kulit atau wayang orang itu. Dan banyak orang
yang mengetahui bahwasanya wayang adalah gambaran pengejawantahan suatu
tokoh, atau penokohan tertentu saja.
4 Rinasa dayaning sukma
Yang
artinya merasakan daya sukmanya sendiri, dalam bentuk getaran atma atau
getaran rasa sejati. Dan seseorang yang merasakan getaran sukmanya
sendiri, pada tingkatan tertentu, dapat merasakan begitu cepatnya
perjalanan sukma itu, sepadan dengan getaran yang diupayakan didalam
olah getaran rasa sejati. Seseorang yang sudah mampu melakukan hal
tersebut diatas, apabila sedang berkonsentrasi, maka apa saja yang
disentuhnya dapat dijadikan sarana, apa yang dikatakan akan menjadi
sabda, dalam arti kata-kata tertentunya mengandung kekuatan spiritual
dan kelak akan ambabar dumadi, dan apa yang menjadi petunjuknya, apabila dijalankan merupakan suatu laku yang sangat bermanfaat.
Dan apabila orang itu berdekatan dengan orang lain, jadilah saraya,
yang artinya dapat mengatasi persoalan yang cukup pelik yang dialami
oleh orang yang didekatinya itu. Pendekatan diri orang yang sudah dapat
mencapai tataran tertentu didalam olah rasa, orang yang didekatinya itu
alamat bakal memperoleh guna, banda wiryo artinya ilmu, harta benda dan kemuliaan.
Didalam
berkonsentrasi, orang tersebut, dapat menggunakan sarana apa saja
sebagai media komunikasi dengan hal-hal yang bersifat gaib, hal ini
sesuai dengan prinsip yang tertera didalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya itu adalah diriku.
Kata demi kata yang terkandung didalam paweling adalah:
Siji-siji, loro-loro, telu telonana, maksudnya, apabila sudah bisa membaca Kunci dalam arti mampu anggelar lan anggulung, serta wis tumata dayaning raga, disebut sudah sampai pada tataran siji. Apabila sudah sampai pada tataran tumata dayaning citpa, dianggap mencapai tataran loro, dan apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, disebut sudah mencapai tataran tiga.
Siji sakti yang artinya kesatu kuat. Hal ini apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning raga, akan menyebabkan atau menimbulkan kekuatan.
Loro dadi artinya dua menjadi, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning cipta, apa yang diangan-angankan akan menjadi kenyataan.
Telu pandita yang artinya tiga pendeta, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, dianggap sudah mulai bisa mendekatkan rasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah mencapai tataran Rinasa Dayaning Sukma sendiri.
Siji wahyu
yang artinya kesatu anugerah, didalam mencapai tataran satu, itu
merupakan anugerah. Karena sulit dicapai dan tidak sembarang orang dapat
melakukanya. Sebab betapa sulitnya mengatur semua bagian-bagian raga
agar dapat difungsikan sebagai olah gaib menyatukan diri dengan
keberadaan Tuhan.
Loro rejeki,
yang artinya kedua rejeki. Maksudnya adalah, apabila sudah mencapai
tataran yang kedua, akan membawa kewajiban harus kerap kali bersyukur
atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan, yang pada giliranya
akan memberikan petunjuk kearah perolehan rejeki, yang kadang-kadang
diluar dugaan yang diperkirakan. Mungkin perolehan itu relatif besar,
dimana selama ini perolehan seperti itu belum pernah didapatkan. Sesuai
dengan bunyi doa: nyuwun sandang ingkan dereng nate kaangge, nyuwun pangan ingkan dereng nate katedha. Yang artinya memohon sandang yang belum pernah kita memakainya dan memohon pangan yang belum pernah kita memakanya.
Telu Gat Rahina,
yang artinya ketiga pagi ufuk biru. Yang maksudnya adalah, sikap selalu
menganggap atas segala sikap yang pernah dialami merupakan gambaran
seperti datangnya pagi di ufuk biru, dimana selalu menjanjikan terbitnya
matahari kehidupan yang selalu akan lebih baik dimasa yang akan datang
dibandingkan masa kini. Dikarenakan pada tataran yang ketiga, yaitu
Rinasa Dayaning Sukma, akan selalu terasa tidak ada kebahagiaan kecuali
merasakan daya sukmanya sendiri, didalam menghadap kehadirat Tuhan Yang
Maha Suci.
III. SINGKIR
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN,
yang artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu
muncul pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan
Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.
Maka
pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa kasih
sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha Pengasih.
Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang tidak boleh
kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi biangnya reruwet dan rubeda
adalah hawa nafsu yang ditunggangi setan. Maka titik pusat yang perlu
disingkirkan adalah hawa nafsu dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya
sendiri.
Menurut
pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa nafsu
merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan yang
berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat kurang
terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa setan secara
wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah hawa nafsu.
Dan
apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda
manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam mimpi,
sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang beranggapan
bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu seseorang mengalami
konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-bawa kedalam mimpi.
Konflik
kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang
dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan secara naluri semua
orang mempunyai kecenderungan memaksakan kehendaknya kepada orang lain,
sekali lagi atas dorongan hawa nafsu tadi. Disinilah sedikit bukti
bahwasanya setan itu adalah hawa nafsu.
Selain
itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang dalam,
tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya. Itu semua
sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa yang dilihat
dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan terbentuk rupa
bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang ditakutkan. Maka pada
saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.
Segala
sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila tidak
dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan dalam hal ini
juga berasal dari hawa nafsu.
Setan
yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya, hanya
merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya merasa
bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk bayangan
seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan memukulnya dengan
membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal setan dalam hal ini juga
dari hawa nafsu.
Demikian
seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual Jawa.
Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu secara
benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru mengaji kepada
Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali ditanya secara
mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata: “Apabila ingin melihat
setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan dirimu…”
Pendek
kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara dogmatis,
tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini. Akan terapi
maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama adalah dogmatis.
Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki oknum Ustad tadi
pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan membanding-bandingkan,
mencari perbedaan dan mempersamakan antara agama dengan Budaya Spiritual
Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya agama adalah Wahyu Illahi,
sedangkan budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia
berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah reruwet dan rubeda,
yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila keruwetan dan godaan itu
datangnya dari setan, dan setan selalu identik dengan hawa nafsu, maka
yang perlu disingkiri adalah hawa nafsu itu sendiri. Yang dimaksud
adalah hawa nafsu sendiri yang dikendalikan dengan tepat, termasuk
pakarti hawa nafsu yang datang dari luar diri sendiri, seperti
dinasehatkan oleh tembang mijil yang dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.
Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang dimaksud Sira
(kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain adalah hawa
nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi. Seperti kata Pak
Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang meminta banyak korban,
Nabi berkata bahwa masih ada perang yang melebihi Perang Badar, yaitu
perang melawan hawa nafsu. Karena memang nyata benar bahwa hawa nafsu
adalah musuh bebuyutan manusia, yang apabila tidak tepat pengendalianya,
manusia tidak dapat “padang paningaling sukmane”.
Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane”
adalah juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah
kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang
hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif.
Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah orang
yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin sedangkan
hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh kotoran, sudah barang
tentu bayangan menjadi kurang jelas. Menjadikan kita tidak mampu
melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi kata Pak Ustad: “apabila masih
membawa hawa nafsu, menjadikan kita tidak bisa Makrifatullah”.
Begitulah
adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat disingkirkan atau
dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati yang selalu bermaksud
ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat menyuarakan, menghayati
dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI, baik
secara gelar maupun secara gulung atau secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING…(asma sejati atau jati diri dari atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak dan berkarya.
Tiga
kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam perilaku
sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya seseorang dianggap
sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang anindakake pakaryane
Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo, maka dia boleh dianggap
sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga menyandang tugas-tugas
spiritual pada saat menjalani masa hidup, sesuai dengan tingkatan
tataran, lingkungan dan jamanya.
IV. MIJIL DAN ASMA SEJATI
Antara
Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena pada
dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati. Yang dimaksud
adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan identitas dari
roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya memberdayakan secara
lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk tujuan-tujuan tertentu yang ada
hubunganya dengan peri laku jiwa raga sehubungan dengan upaya anggelar
lan anggulung isine Kunci.
Yang
jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati dapat
dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa sejati, dimulai
dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis buang air kecil, atau
kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama seperti itu sama seperti
bila kita sedang dilanda rasa takut terhadap sesuatu.
Secara
anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula dari pusat
susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya bergerak atas
dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan saraf otak. Namun
dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran rasa merinding itu tidak
dimulai atas perintah berupa rangsangan dari susunan saraf otak, akan
tetapi gerakan itu timbul sebagai akibat adanya konsentrasi atau
pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan, dan dorongan itu langsung menuju
saraf motorik.
Pada
giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan seluruh
badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin bergerak,
akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan kadang-kadang
apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan diri kita dengan
sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak mampu
mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul begitu
saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali diwatek.
Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada mulut,
menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas kata-katanya.
Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud arsa Beksa Beksanira Pribadhi,
yang artinya bermaksud menari tarianya sendiri. Tarian disini lebih
tepat dikatakan sebagai tarian sakral atau semacam gerakan yoga yang
timbul secara spontan atau timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam
tarianmu dimaksudkan atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri.
Sebagaimana raga memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati
diri dari sukma orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati
menjalankan perintah raganya.
Besar
kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari banyak
sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan mijil
tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah frekuensi
itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam pemusatan rasa
hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat konsentrasi sangat
tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik, jumlah pembiasaan, keadaan
lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu semua juga kadang-kadang
terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi
merupakan upaya memperoleh getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk
getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini
menunjukkan bahwa tiap jati diri memiliki identitas dan kekhususan
tersendiri.
Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa beksa beksanira pribadhi,
yang merupakan getaran yang meliputi seluruh tubuh, maka selanjutnya
boleh melatih diri dengan gerakan didalam getaran pada tiap
bagian-bagian tertentu, dimana gerakan pada bagian-bagian tertentu ini,
ada yang menganggap gladen (latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.
SEDIKIT TENTANG TENAGA DALAM
Kekuatan
tenaga dalam atau sering disebut tenaga murni atau tenaga inti juga
kekuatan sejati dan ada juga yang menyebutnya tenaga gaib dan sebagainya
itu, berasal dari hasil pembudidayaan dari hasil pembudidayaan dari
daya kekuatan dari apa yang disebut Bayu Sejati, dimana semua orang
memilikinya. Apa yang disebut bayu sejati, erat kaitanya dengan apa yang dinamakan oleh Penghayat Budaya Jawa sebagai Kadang Papat Kalimane Pancer.
Sesungguhnya
kawruh tentang kadang papat lima pancer it hanya suatu perwujudan dari
sejenis Ilmu Jiwa (khas) Jawa. Tidak ubahnya tentang kawruh kebudayaan
mengenai perhitungan hari baik untuk berkhajat yang sampai sekarang
sebagian kalangan masih mepergunakanya. Biasanya disebut perhitungan
hari dan pasaran yang masih dianggap erat kaitanya dengan peri kehidupan
Orang Jawa.
Kawruh
khusus di bidang hari pasaran, selanjutnya bisa dikatakan sebagai
bagian dari Ilmu Perbintangan atau Astrologinya Orang Jawa, yang tidak
berbeda jauh dengan fungsi ilmu perbintangan atau astrologi dari manca
negara yang sering digunakan untuk meramalkan nasib.
Berbicara mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer,
yang sebenarnya semacam Ilmu Jiwa Jawa itu, yang menguraikan tentang
kebakuan sumber daya manusia di bidang pembagian perwatakan atau
temperamen manusia itu memang bisa dikelompokkan menjadi empat hal,
sedangkan yang kelimanya sebagai penyempurna. Jelasnya tentang kawruh kadang papat lima pancer itu, merupakan pembagian perwatakan didalam Ilmu Jiwa Jawa.
Semua perilaku manusia dianggap terpengaruh oleh kadang papat lima pncer, yang terdiri dari: kadreng, kuwawa, greget lan bisa. Yang artinya kira-kira: kemauan, kemampuan, semangat dan bisa. Apabila disebut dengan Bahasa Jawa Tengahan sebagai: daya ngumbara, daya purba, daya wasesa lan daya wasis. Dan jika disebut dalam Bahasa Jawa Kuno adalah: daya netra, daya lodra, daya ludira, lan daya grana. Manakala disebut dalam bahasa arab kira-kira: sufiya, luwamah, amarah dan mutma’inah.
Jelasnya kawruh tentang kadang papat lima pancer
itu adalah pembagian perwatakan manusia. Dimana semua manusia memiliki,
memakai dan merasakan tanpa kecuali. Baik dia Orang Arab, Belanda, Cina
maupun Orang Jawa. Dimilikinya hal tersebut diatas juga tanpa mengenal
batasan apakah mereka memeluk Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha ataupun Penghayat kepercayaan Kepada Tuhan YME. Tanpa mengingat
pula apakah dia cocok atau tidak dengan kawruh tersebut.
Hanya
saja yang perlu diingat, watak Orang Jawa itu pada umumnya ramah dengan
penuh rasa kekeluargaan, memanusiakan manusia dan menghormati orang
lain. Memanusiakan disini yang dimaksud adalah nguwongake. Kadang-kadang bukan manusia saja yang sering diuwongake.
Juga walaupun bukan tokoh personal, bukan bangsanya lelembut, bukan
dhedhemit, bukan jin peri perayangan, bukan pula arwah gentayangan,
semua sering diuwongake.
Karena
pada umumnya Orang Jawa sering senang menggunakan gaya bahasa
personifikasi, hal-hal yang bukan person seakan-akan dipersonkan. Maka
yang disebut hawa nafsu sufiyah, luwamah, mutmainah dan amarah juga
dipersonifikasikan. Maka apabila hawa nafsu dinamakan kadang atau
saudara disebabkan karena sifat nguwongake tadi. Apalagi bila melihat
kenyataan bahwa hawa nafsu tersebut digunakan terus selama hayat
dikandung badan.
Malahan
gaya personifikasi Orang Jawa diberlakukan pada hewan, tumbuhan dan
benda mati. Misalnya kucing diberi nama si manis, anjing dipanggil si
bekti, kerbau ada yang bernama trubus dan sebagainya. Benda mati berupa
senjata, kereta, gamelan dan sebagainya yang berada di Keraton
Yogyakarta dan Surakarta bukan saja diberi nama namun masih ditambah
kata sandang Kyai didepan nama tersebut. Namun sudah barang tentu bukan
Kyai dibudang agama. Dan ada pula Orang Jawa yang mengatakan “wah Kyaine
liwat” manakala melihat harimau sedang berlalu.
Bukan
saja manusia yang dimanusiakan, maka kepada manusia yang sebenarnya,
lebih-lebih dimanusiakan, walaupun kepada orang yang menganggap laku
Orang Jawa sebagai musyrik, munafik dan klenik. Orang tersebut tetap
dihormati dan dibuat senang hatinya. Bila perlu apabila kita dimintai
pertolongan ya di tolong juga. Demikian itu sikap Njawani.
Lalu bagaimana jelasnya mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer yang sering dihubung-hubungkan dengan adanya kawah, ari-ari, puser lan getih itu? Kesemuanya itu merupakan perwujudan fisik. Orang Jawa bilang blegere dat, yang dianggap mempunyai daya dibalik pisiknya, sebagai sifat. Dikatakan dalam Bahasa Jawa dat anggawa sipat (dzat membawa sifat).
Maka kawah sebagai dat mempunyai sifat purba, ari-ari mempunyai sifat wasesa. Puser sebagai dat mempunyai sifat wasis dan getih membawa sifat ngumbara.
Proses mengenai dat dan sifat ini dipengaruhi oleh daya naluri yang
berkembang menjadi nalar, akan membentuk sifat di dalam perilaku.
Dat dan sifat akan membentuk naluri dan perilaku, setelah mengalami proses pralina terlebih dahulu. Pralina
artinya sudah tidak berwujud lagi akan tetapi tidak hilang. Proses
pralina ini terjadi karena apabila bayi sudah lahir dan sampai dewasa,
kadang papat secara fisik sudah tidak dipergunakan lagi. Karena kawah sudah dikumbah, getih wis ngalih, puser wis diunder lan ari-ari wis di rukti atau dibenamkan layaknya perlakuan kepada jenazah.
Menurut
teori ilmu alam, berlaku hukum keabadian untuk zat dan energi. Maka
segala macam bentuk fisik tak akan hilang walaupun tidak terlihat lagi,
karena mengikuti proses siklus didalam berdaur ulang.
Didalam proses pralina, metapisis dari kadang papat terlebih dahulu berubah wujud menjadi ether yang merupakan bentuk halusnya metaphisik. Kata ether didalam Bahasa Jawa disebut Sir. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dat membawa sipat dan semuanya tercakup didalam sir. Maka kemudian ada sebagian Penghayat Kebudayaan Jawa yang sering menyebut-nyebut Sirulah, Datulah dan Sipatulah.
Ada sedikit bukti bahwa dat membawa sipat,
yaitu: mengapa seseorang mempunyai sifat kasmaran, tak lain karena dia
mempunyai piranti seksual. Seseorang menitikkan air liur karena melihat
mangga muda, sebab tubuhnya sangat membutuhkan Vitamin C. manusia
dianggap berperasaan karena didalam tubuhnya ada segumpal hati dan
sebagainya.
Oleh
karena secara ilmu alam, apabila sesuatu zat mengalami perubahan bentuk
dan wujud, pasti didalam perubahan itu menimbulkan energi. Maka
perubahan kadang papat pada proses pralina, akan menimbulkan energi
berupa dorongan naluri perwatakan dan perilaku, yang juga menimbulkan
daya lebih bersifat supranatural yang dimiliki oleh semua orang manakala
mau membudidayakanya.
Disamping mempunyai kadang papat
yang dapat menimbulkan daya kekuatan naluri, manusia masih mempunyai
daya yang melebihi daya dari kadang papat yang biasa disebut bayu sejati
yang bersifat sebagai sumber energi metapisis manusia. Bayu sejati
bersifat Illahiyah karena asli ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
ditiupkan kepada manusia pada saat jabang bayi berada didalam kandungan
ibu pada usia seratus hari. Seumpama kadang papat sebagai pakaian, bayu sejati adalah pemakainya. Dan bayu sejati inilah yang disebut lima pancer, yang pernah menjadi kekuatan uwatnya pada saat sang jabang bayi lahir.
Dan sebenarnyalah getaran rasa sejati yang dibangkitkan dengan mijil berasal dari getaran gelombang metapisiknya kadang papat. Selanjutnya getaran yang timbul pada bagian-bagian tubuh, disebut aji,
yang artinya terhormat, terpelihara atau rahasia jati diri. Namun
janganlah disamakan dengan ajian yang diceritakan di dalam wayang, film
ataupun sandiwara radio. Ini semua hanyalah tenaga dalam, yang maksudnya
tenaga yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
AJIAN ATAU AJI JAYA KAWIJAYAN
Seperti
telah disinggung didepan, bahwa ajian disini bukanlah semacam ilmu
kekebalan, atau sesuatu yang menjanjikan kehebatan dan sebagainya. Kata jaya kawijayan artinya jaya adalah kuat dan kawijayan
adalah kekuatan. Kuat dan kekuatan disini dengan tolok ukur seberapa
kuat orang tersebut didalam mengendalikan hawa nafsu, yang konon
merupakan musuh bebuyutan manusia.
Dan selanjutnya getaran yang timbul dari sumber dayanya kawah akan membentuk aji wijaya mulya, wijaya kusuma,
yang berada di telapak tangan kanan dan kiri. Sedangkan antara jempol
dan telunjuk tangan yang disebelah kanan akan menimbulkan aji ismu gunting dan yang disebelah kiri disebut aji ismu dhateng. Aji madiguna berada pada tulang ekor dan sebagainya, ini semua hasil dari pengendalian nafsu supiyah.
Getaran yang berasal dari metapisiknya luwamah, membangkitkan aji braja dhenta, yang menempati kepalan tangan. Aji braja musthi berada pada pusat getaran dikepalan tangan kiri. Aji braja wikalpa berada ditelapak kaki kanan. Aji braja lamatan berada ditelapak kaki kiri. Aji braja sekethi berada ditengah telapak tangan kiri. Aji rah muka dan rah anggana menempati pundak kiri dan kanan. Aji bandung naga sewu berada ditulang belakang, aji candha birawa bertempat ditenggorokan. Aji bandhung budhawasa menempati sekojur kaki kanan dan kiri.
Getaran metapisiknya amarah dapat membangkitkan aji hagni suci yang berada dititik pertemuan pandang kedua bola mata dengan ujung hidung. Aji trinetra
berada ditengah-tengah kedua alis mata, dan aji pamungkas yang
penempatan dan tata caranya tidak dapat penulis kemukakan disini, karena
menurut anggapan penulis, hal ini merupakan salah satu diantara sekian
banyak rahasia Ketuhanan. Namun demikian dapat diajarkan secara lisan
dengan persyaratan tertentu.
Getaran metapisiknya mutmainah dapat menimbulkan aji nala wigara, yang pusat getaranya berada ditengkuk. Aji padma sana pusat getaranya berada dikedua lengan tangan dengan sikap cakra krodha. Aji gineng berada di pusat atau wudel. Aji mahondri berada pada semua jari kaki kanan dan kiri. Aji kawastrawam berada dipinggang kiri dengan dikepali dua tangan disertai pandangan muka serong kekanan dengan badan condong kedepan kanan. Aji bajingakiring setempat dengan aji mahondri, akan tetapi bertumpu pada lentingan kedua ujung kaki. Aji rawa rontek
pusat getaranya memakai sikap berdiri dengan salah satu kaki berpusing,
atau berjingkat dengan berdiri bertumpu dengan salah satu kaki. Kalandana putih adalah aji yang pusat getaranya pada langit-langit mulut, dan masih banyak lagi.
Sedangkan getaran yang ditimbulkan oleh bayu sejati, dapat digunakan antara lain untuk: sambung rasa kepada para insan gaib. Dan sambung rasa sambang
yang artinya dapat digunakan untuk menghadiri suatu tempat secara
metapisis tanpa menggunakan raga, akan tetapi nampak kehadiranya berupa
cahaya berwarna kristal. Sambung rasa asmara yang dapat dipergunakan
untuk memberikan kepuasan asmarawi kepada atau suami tercinta apabila
secara kebetulan berada ditempat terpisah yang cukup lama, dengan tehnik
pengiriman rasa senggama lewat impian. Dengan daya bayu sejati dapat
pula untuk angracut aji bandhung budhawasa yang cara dan fungsinya
hampir sama dengan sambung rasa asmara hanya saja tugas yang diemban
oleh aji ini untuk menjaga rumah, manakala ditinggal pergi cukup lama.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan yang sengaja tidak
penulis paparkan disini, karena akan lebih baik hasilnya apabila
diajarkan lewat tatap muka secara langsung.
MAKNA KATA DAN ISTILAH DI DALAM MIJIL
Mijil artinya:
1 Metu lan amiji,
artinya keluar dan (tetapi) menyatu. Yang keluar berupa getaran dan
yang menyatu dan yang menyatu adalah jiwa dan raga yang terus bersambang
dan bersambung rasa. Hal ini hanya mungkin dijalankan manakala
seseorang sudah mengenal jati diri rohnya.
2 Sedya manjing sajroning rasa,
yang artinya: kemauan masuk kedalam rasa. Kemauan yang dimaksud adalah
semua khajad, niat dan cita-cita penyampaianya harus disalurkan dengan
olah rasa perasaan yang halus. Sehingga membentuk suasana yang
benar-benar komunikatif, baik untuk hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesamanya dan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
3 Sedya rasa manjing jroning raga,
yang artinya; kemauan dan rasa menyatu di dalam tubuh. Maksudnya
setelah kemauan memasuki rasa untuk dikomunikasikan, selanjutnya
diharapkan dapat memperoleh apa saja yang dibutuhkan oleh raga. Baik
kebutuhan materi maupun non materi.
4 Cipta manjing jroning sukma,
artinya daya cipta memasuki sukma. Apabila sudah memasuki proses ini,
maka daya cipta dapat memberdayakan sukma, yang pada giliranya proses manunggaling Gusti kawula sudah mulai dekat. Karena pada dasarnya hubungan makhluk dengan khaliknya yang paling tepat adalah bentuk hubungan sukmawi.
5 Dayaning Sukma rinasa ing raga,
yang artinya keberadaan dan daya dari kekuatan sukma dapat benar-benar
dirasakan oleh raga. Apabila proses pernah dilalui, orang akan
benar-benar merasakan daya sukma itu, yang bersifat tahan benturan,
tahan api, tahan angin dan juga tahan akan segala senjata. Pernah
seseorang membuktikan, suatu ketika sedang gladian olah getaran, ada
yang membentur batu karang pas bagian kepalanya akan tetapi tidak
terluka ataupun merasakan sakit.
6 Rasa angagem kuwasane sukma sejati,
yang artinya rasa perasaan dan rasa naluri sudah memakai kekuatan sukma
sejati. Apabila sudah mencapai proses ini, apa yang menjadi
angan-angan, kata-kata, maupun cita-cita sering gampang menjadi
kenyataan. Dan diharapkan jangan sembarang bicara yang jelek atau
menyumpahi orang. Karena kemungkinan akan fatal akibatnya. Dari itulah
kenapa ada pantangan tidak boleh “nyepatani”.
7 Sukma Sejati sambung rasa marang Sukma Kawekas, artinya Sukma Sejati berhubungan secara rasa dengan Sang Maha Hidup. Pada tataran ini proses manunggaling Gusti Kawula sudah semakin dekat. Orang dapat merasakan kehadiran insan gaib secara wantah atau biasa pada alam nyata.
8 Sukma Kawekas Sambang Rasa marang Sukma Sejati,
artinya Sang Maha Hidup memberi perlindungan kepada Sang Sukma Sejati.
Apabila sudah sampai pada tataran ini seseorang sering memperoleh bukti
yang benar-benar nyata atau suatu kejadian yang apabila tanpa
perlindunganya, tak mungkin tertolong. Misalnya; bersepeda motor
tertabrak mobil, mobilnya peok, penumpangnya terluka, akan tetapi sepeda
motor dan pengendaranya baik-baik saja.
9 Sukma Sejati angobahake rasa tumuju marang paraning sedya,
artinya Sang Hidup menggerakkan raga dengan menggunakan rasa mengarah
kepada tujuan hidup. Pada proses ini sering dialami oleh seseorang,
manakala suatu hari dalam keadaan payah karena benturan ekonomi,
tiba-tiba ada getaran sulit dikendalikan pada kaki dan perasaan ingin
menuju kesuatu tempat. Begitu kuatnya keinginan itu sehingga tidak dapat
dicegah. Ternyata setelah sampai pada tempat tujuan bertemu dengan
kenalan yang dapat mengarahkan ke dunia bisnis, dan akhirnya berhasil.
LAIN-LAIN
1 Angagem aji
atau memakai ajian berarti memakai daya sukmanya sendiri yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Bahasa Jawa dikatakan angagem dayaning Sukma asal saka Gusti.
2 Singkir mijil yaiku ambalekake kaya asal kamulane. Yangartinya mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Lan angilangake kahanan ala saka jiwa raga pribadhi, artinya menghilangkan keadaan jelek dari diri pribadi.
3 Upacara Hagni Suci
adalah adalah suatu kegiatan pengakuan dosa dan upaya penyuciannya
dengan cara penghayalan seakan akan diri ini sedang dibakar api yang
sangat besar, dengan upacara dan doa khusus yang menggunakan sarana
kembang sepatu.
4 Nawala Tirta adalah suatu upacara ritual dalam upaya pengiriman berita insan gaib atau yang tergolong dengan Utusan Langgeng yang tataranya dibawah Ismoyo, dengan maksud melaporkan hasil perolehan atau suatu lelaku yang pernah dilaksanakan atas suatu “Dhawuh”. Untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut. Dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, diapungkan dilaut.
5 Walik mijil,
adalah upacara ritual, dimana seseorang seakan-akan dilahirkan kembali
(renatal), dengan cara dalam upacara ritual yang mengharuskan seseorang
dilangkahi oleh ibu kandungnya sendiri. Apabila sudah meninggal, boleh
diwakili saudara tua perempuan yang sedarah dengan almarhum ibunya.
KESIMPULAN
Dari
itu semua sebenarnya yang namanya Asma Sejati itu tidak lain adalah
jati diri dari roh orang yang bersangkutan, yang diberikan oleh sesepuh
atau kesepuhan yang dianggap sudah mumpuni atau menguasai olah spiritual
sehubungan dengan gelar dan gulungnya Kunci, Paweling, Singkir lan Mijil.
Pada
waktu manusia berada didalam kandungan ibu kira-kira usia seratus hari,
kepada calon jabang bayi itu diberikan roh oleh Tuhan, dengan satu
macam roh untuk semua manusia di bumi ini. Intinya semua orang diberikan
roh yang hanya satu oleh Tuhan Yang Maha Satu.
Maka
Asma Sejati disini dipergunakan untuk identitas atau jati diri yang
membedakan antara si A dengan si B, si C dan seterusnya. Atau dengan
perkataan lain untuk membedakan roh atau atma pada diri setiap orang
itulah maka diperlukan Asma Sejati, yang apabila di Mijilkan akan
berhubungan dengan dengan benar-benar menyatu antara raga dan jiwa.
Dari kedua pengertian tentang mijil dan satu pengertian tentang Asma Sejati, maka pengertian Mijil ing Asma Sejati adalah ngetokake daya rasa pracaya marang Ingkang Maha Tunggal kanthi nyawiji migunakake kekuatan atmane dhewe.
Yang artinya mengeluarkan daya dari rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha
Satu dengan cara menyatu menggunakan kekuatan atmanya sendiri.
Demikian
sekilas dan serba sedikit uraian tentang pengertian Kunci, Mijil, Asma
Sejati, Paweling dan Singkir yang juga disebut Panca Gaib yang dapat
penulis sajikan sebatas kemampuan dengan maksud dapatlah yang sedikit
ini dijadikan pedoman seadanya dengan maksud untuk memberi jawaban atas
pertanyaan dari berbagai kalangan dan kadang yang sampai tulisan ini
dibuat belum ada yang sudi memberikan jawaban.
Sudah
barang tentu jawaban ala kadarnya ini masih jauh dari makna dan
pengertian yang terkandung didalam Panca Gaib yang memang sangat sulit,
rumit dan serba luas, penuh kerahasiaan, halus serta tidak terukur oleh
dimensi waktu maupun ruang.
Namun
demikian penulis yang belum tahu apa-apa ini dengan sangat terpaksa
memberanikan diri membuat uraian ini. Maka sudah barang tentu masih
banyak kekurangan yang perlu penyempurnaan. Walaupun sudah berupaya
semaksimal mungkin, begitupun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan, Rahayu.
Srandil
MANDHALA GIRI
Mandhala
Giri berasal dari kata di dalam Bahasa Sanskerta, Mandhara dan Giri.
Mandhara artinya dua buah berjajar hampir sama besar dan berdekatan
sedangkan Giri artinya Gunung. Sedangkan kata Srandil berasal dari kata
didalam Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih gunung tumpul yang
puncaknya tampak seperti patah, sehingga hampir sama luasnya antara kaki
dan puncaknya. Maka sebutan Gunung Srandil tidak hanya ada di Desa
Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap saja, yang konon
diceritakan ada pertapan, yang merupakan petilasan para leluhur Tanah
Jawa.
Yang dimaksud para leluhur Tanah Jawa itu antara lain, disebutkan beberapa tokoh legenda, yaitu:
Di lingkungan Beteng
HYANG AGUNG HERU CAKRA
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA
IBU RATU RETNO DUMILAH
HYANG LANGLANG BUWANA (yang petilasan pertapaanya di puncak Gunung Srandil)
Di luar lingkungan Beteng
HYANG SUKMA SEJATI
HYANG WURUNG GALIH
HYANG
KUMALA YEKTI (yang juga disebut KI SALINGSING, yang petilasanya berada
agak jauh dari Gunung Srandil yaitu di tepi Pantai Selatan. Berupa makam
?)
Di
sebelah barat Gunung Srandil, terletak sejajar seakan akan saudara
kembar dari Gunung Srandil, ada Gunung Selok, yang konon di puncak
gunung itu ada dua pertapaan yaitu Pertapaan Jambe Lima dan Pertapaan
Jambe Pitu.
Pertapaan Jambe Lima merupakan sebuah petilasan, yang berada di dalam bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG CAKRA WANGSA
HYANG SUKMAYA RENGGA
Dan yang berada di luar bangunan pertapaan merupakan petilasan dari:
HYANG SABDA PALON
HYANG NAYA GENGGONG
Pertapan Jambe Pitu merupakan petilasan yang dipercaya sebagai Singgasana Gaibnya:
HYANG LENGKUNG KUSUMA
HYANG LENGKUNG SWIRI
HYANG WISNU MURTI
Lalu diluar lingkungan bangunan pertapaan ada petilasan HYANG JAPEN.
Di
pantai curan Laut Selatan ada beberapa goa, satu diantaranya merupakan
petilasan IBU SUCI RAHAYU dan IBU RATU SRI KENCANA WATI, yang terletak
di Goa Suci Rahayu, kira-kira letaknya di bawah Jambe Pitu.
Sepertinya
sudah menjadi naluri adat yang mendarah daging bagi sebagian Orang
Jawa, mempunyai perilaku wayang sentries, yaitu berupa kebiasaan sikap
hidupnya berkiblat kepada keberadaan wayang. Serta sebagian menganggap
bahwa wayang mempunyai kekuatan magis tertentu. Di samping sebagai
peninggalan hasil cipta, rasa, karsa dan karya para leluhur yang
benar-benar adiluhung.
Salah
satu contoh kebiasaan sikap yang nyata-nyata berkiblat kepada wayang
misalnya: salah satu KOREM di beri nama MAKUTHA RAMA. Dimana Makutha
Rama adalah “WAHYU KEPRABON” yang diberikan oleh para dewa kepada Sang
Arjuna sebagai yang “BINELAH PANITISE” dari Dewa Wisnu yang juga menitis
kepada Prabu Bathara Kresna.
Senjata
Cakra milik Bathara Wisnu yang di anugerahkan kepada Bathara Kresna,
dijadikan salah satu symbol kesatuan tentara, lalu candi-candi di Dieng
dan petilasan-petilasan di Rahtawu Jawa Tengah, hampir semua tokoh
legendanya diambil dari nama tokoh wayang. Juga Pulau Madura, dianggap
sebagai Negara Mandura dan Gunung Semeru seakan-akan sebagai Gunung
Mahameru di India sebagai negara yang menjadi asal-muasalnya Wira Carita
dari wayang.
Disamping
itu, sebagai Orang Jawa juga sering mempersamakan rupa dan perilaku
seseorang pada tokoh wayang, misalnya ketampananya seperti Arjuna,
Cantiknya Seperti Subadra, kumisnya tebal melintang seperti Gatotkaca,
tinggi besar dan gagah seperti Bima, gemuk sekali seperti Limbuk, kurus
sekali seperti Cangik, berambut panjang terurai tak karuan seperti
Burisrawa, tukang Hasut seperti Sakuni. Arif dan bijaksana seperti Prabu
Krisna, berlagak gagah seperti Dursasana, pemberang seperti Baladewa,
sewenang-wenang dan serakah seperti Dasamuka, kembar mirip sekali
seperti Nakula dan Sadewa dan sebagainya.
Buku Wira Carita yang bersumber dari salah satu bagian dari Kitab Weda yang berasal dari India,
direka-reka seakan tempat, waktu dan tokoh ceritanya berasal dari Jawa.
Disadari atau tidak perilaku seperti itu sudah berurat akar didalam
perilaku sebagian Orang Jawa.
Dengan
demikian, keberadaan beberapa pertapan di Srandil juga dianggap ada
hubunganya dengan wayang. Intinya menyadur dari Kitap Wira Carita
MAHABARATA yang diturunkan lagi dari Kitab PURWA CARITA dengan mengambil
salah satu episode atau lakon SAMODRA MANTANA, yang menceritakan bahwa
para dewa akan mengupayakan “TIRTA AMRITA” yang biasa disebut dalam
wayang sebagai “TIRTA AMERTA” yang artinya Air Kehidupan, atau Air
Pembawa Hidup dan juga disebut Air Penyebab Hidup.
Di ceritakan di dalam kitab tersebut, di Kahyangan Suralaya atau tempat bertahtanya para dewa. Ada
dua buah gunung yang letaknya sejajar yang keduanya itu bernama
Mandhara Giri. Hyang Jagad Giri Nata yang merupakan Raja dari para dewa
memerintahkan kepada Dewa Wisnu untuk melakukan tiwikrama merubah jasad
dirinya menjadi Hyang “AKUPA” yaitu sebangsa Penyu Raksasa yang mampu
menggendong dua buah Gunung Mandhara Giri tadi, untuk di bawa menyelam
sampai di bawah dasar Samodra Selatan dan meletakkanya dengan pucuk di
bawah dan kaki gunung di atas. Dengan letak menungging tersebut akan
dijadikan sebagai mata bor untuk melubangi dasar Samodra Selatan.
Sebagai
tali pemutarnya, Hyang Jagad Giri Nata memerintahkan agar Hyang Ananta
Boga, sebagai dewa dengan wujud Ular Raksasa, untuk melingkarkan dirinya
pada dua buah gunung tadi, dengan lingkar yang melintangi kedua gunung
tadi dalam bentuk angka delapan.
Sebagai
tenaga pemutar di perintahkan kepada Para Sura atau Para Dewa untuk
menarik kepala dan Para Asura atau Para Raksasa untuk menarik ekornya.
Demikian kepala dan ekor Sang Ananta Boga di tarik-tarik secara
berulang-ulang dan terus menerus, sehingga Mandhara Giri berputar bagai
bor delapan tahun lamanya.
Setelah
lapisan tanah dan batuan dari dasar Samodra Selatan berhasil di bor
sampai puncak Mandhara Giri menjadi tumpul, maka akhirnya keluarlah:
NILA ANTAKA
Yaitu
sebangsa cairan berbisa yang racunnya dapat menyebabkan Para Dewa bisa
mabok sampai meninggal. Untuk mencegah kemungkinan kefatalan itu, maka
Hyang Jagad Giri Nata atau Bathara Guru memutuskan untuk menelan NILA
ANTAKA tersebut, agar di belakang hari tak lagi terminum oleh para Dewa,
manusia, maupun raksasa.
Mungkin
sudah kodrat Tuhan Yang Maha Esa, racun itu terhenti hanya sampai
ditenggorokan saja, yang menyebabkan leher Hyang Jagad Giri Nata lebam
membiru untuk selamanya. Dari kejadian ini lalu Bathara Guru diberi
gelar Hyang Nilantaka atau Hyang Nilakanta karena lehernya berwarna
Nila. Ini adalah pengorbanan dirinya rela cacat seumur hidup dengan
maksud agar para penganutnya tidak menelan sesuatu yang menyebabkan
rusaknya moral.
Berangkat
dari kisah diatas, maka selanjutnya ada semacam kepercayaan bahwasanya
seseorang dapat dianggap benar-benar dan sungguh-sungguh sebagai
pembimbing spiritual di pertapaan Mandhara Giri Srandil, manakala bisa
meniru sifat rela berkorban seperti Bathara Guru, dan orang tersebut
baru dianggap sebagai “Guru Laku”. Bathara Guru di pewayangan di
gambarkan bertangan empat dan menaiki Lembu Nandini.
“GURU”
dituntut oleh kewajibanya harus bertangan empat. Dua buah tangan untuk
mengerjakan keperluan pribadinya dan tangan lainya di gunakan untuk
keperluan para “SISWA” nya yang biasanya di sebut para putra wayah yang
berguru kepadanya.
Berdiri
diatas Lembu Nandini melambangkan selalu berlandaskan kesucian
Illahiyah, didalam pikiran, perkataan dan perbuatanya. Berani menelan
Nilantaka yang maksudnya harus berani bersumpah di pertapaan Mandhara
Giri Srandil “rela mati bila tidak berhasil memuliakan para putra
wayahnya”.
Selain
itu, yang lebih penting lagi, dalam dia berdiri sebagai pendeta, memang
benar-benar atas pilihan kesucian Gaibnya Tuhan. Bila yang dianggap
sebagai Guru Laku nyata benar demikian, biasanya, konon kulit dibagian
tubuh tertentu ada “TOH” yaitu semacam bercak abadi yang berwarna biru
keungu-unguan, dibagian leher atau ketiak kiri kanan, yang sebelumnya
tidak di ketahui oleh dirinya sendiri, sebelum diberitahukan oleh orang
lain yang secara tidak sengaja melihatnya.
GAJAH AIRA VATA
Yang
juga bernama Gajah Era Wata yang di dalam pewayangan di sebut Gajah Era
Wana. Yaitu gajah yang berasal dari sorga, berkulit putih dan kulitnya
bercahaya terang, yang terkadang terlihat kadang tidak oleh penglihatan
mata manusia biasa.
Selanjutnya
gajah ini di anugerahkan kepada Batara Brama atau Hyang Agni sebagai
kendaraan dinas jawatanya. Sewaktu ada lakon Begawan Bala Rama yang tak
lain adalah Baladewa, Sang Begawan di anugerahi Gajah Puspadenta oleh
Hyang Agni. Konon gajah ini keturunan dari Sang Aira Vata. Untuk
meyakinkan kepada Baladewa bahwa gajahnya adalah keturunan dari Aira
Vata, kelak bila menjadi Raja Mandura menggantikan Ayahnya, akan
berpermaisurikan Dewi Erawati yang namanya berasal dari kata Erawata.
Di
dalam lakon ASMARA DAHANA, diceritakan Sang Dewi Uma Parwati permaisuri
dari Bathara Guru yang secara kebetulan sedang mendampingi sang suami,
untuk memeriksa barisan prajurit Dandara yaitu pasukan dari Para Dewa di
Repat Kepanasan atau Alun-alun di Kahyangan Suralaya. Dengan serta
merta Dewi Uma Parwati menjerit kuat karena terkejut dan sangat takut
melihat Gajah Erawata yang di tuntun oleh Bathara Agni.
Pada
hal pada waktu itu secara kebetulan Sang Dewi sedang Hamil. Pada
giliranya pada waktu Sang Dewi bersalin, melahirkan seorang bayi yang
tidak lumrah sebagaimana bayi-bayi dewa yang lain. Karena bayi itu
ternyata berkepala gajah dan berbadan raksasa laki-laki dan diberi nama
Bathara Gajayana, yang setelah dewasa mengemban tugas sebagai Dewa
Kearifan dan selanjutnya sekarang di pakai sebagai lambang sebuah
perguruan tinggi di Bandung.
CUPU LINGGA MANIK
Adalah
sebuah cawan yang bahanya dari batu permata berwarna ungu tua berbentuk
segi delapan. Sebenarnya ada sedikit misteri di dalam kemunculan cupu
ini. Karena secara kebetulan secara tiba-tiba saja sudah berada di dalam
mulut sang Ananta Boga. Maka oleh Bathara Guru lalu di anugerahkan
kepadanya.
Di
dalam lakon lahirnya Dewi Sri dan Raden Sadana, Dewa Ananta Boga
mendapat perintah dari Bathara Guru untuk bertapa delapan tahun lamanya,
karena dia dipersalahkan terkesan tidak rela di dalam menjalankan tugas
menjadi tali pemutar Gunung Mandhara. Karena ditengah pengeboran itu
timbul rasa sengsara tak terkira, kenapa dia harus menjadi tali pemutar
yang di tarik-tarik selama bertahun-tahun. Dia menganggap kodrat Tuhan
atas dirinya sebagai dewa berbadan ular adalah ketidak adilan dari para
dewa.
Maka
bertapalah dia, atas perintah Bathara Guru yang juga sebagai hukuman
khas para dewa yang dianggap melanggar, dengan mulut menganga melingkari
Arga Kailasa selama satu tahun sehingga Cupu Manik didalam kulumanya
terlepas. Dan diterimalah keprihatinan Sang Ananta Boga oleh Tuhan Yang
Maha Tunggal. Tutup cawan berubah menjadi seorang ksatria tampan diberi
nama Raden Sadana dan bagian wadah cupu menjelma menjadi putri cantik
bernama Dewi Sri.
Selanjutnya
Raden Sadana dan Dewi Sri diserahkan kepda Bathara Guru, oleh penguasa
para dewa itu, Raden Sadana dan Dewi Sri diserahi tugas menjadi petani
dan pemelihara padi di bumi. Sebagai anugerah atas keberhasilan tapanya,
Ananta Boga diberi anugrah berupa Aji Kawastrawam yang dapat digunakan
sebagai sarana untuk merubah wujudnya menjadi ksatria tampan, apabila
ajian itu di watek atau diamalkan.
Sesuai
kelaziman para dewa, walaupun Aji Kawastrawam adalah milik sah dari
Sang Ananta Boga, akan tetapi tidak boleh sembarangan cara
menggunakanya. Dalam arti ajian tersebut hanya dapat digunakan untuk
sarana di dalam tugas-tugas Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Apabila
ajian itu di watek, sebelum menjadi ksatria tampan, terlebih dahulu
akan mengeluarkan minyaknya yang disebut LENGA TALA dan bekas kulit ari
dari ular yang disebut WLUNGSUNGAN.
Lenga
Tala dapat digunakan untuk menyembuhkan luka yang sangat parah dan
bahkan dapat menyembuhkan orang mati yang belum waktunya. Sedangkan
Wlungsungnya dapat digunakan untuk dapat merambah air tanpa harus
tenggelam dan sebagai pelindung perisai diri yang sangat ampuh dalam
menghadapi segala benturan.
Sebagaimana
diceritakan di dalam lakon Subadra Larung. Diceritakan Sang Subadra
yang adik kandung dari Sri Bathara Kresna, meninggal karena ditikam oleh
Burisrawa, gara-gara menolak cintanya. Sebagai suaminya, menangis dan
berdatang sembahlah Arjuna kepada Bathara Kresna, untuk maminta
kesembuhan atas kematian istri tercintanya.
Prabu
Kresna Raja Dwarawati yang dikenal sebagai titisan Dewa Wisnu yang
memiliki Kembang Cangkok Wijaya Mulya, yang dapat menyembuhkan orang
mati sebelum waktunya, atas firasat, yang diterimanya, Prabu Kresna
tidak mau menggunakan Kembang tersebut untuk menyembuhkan, walaupun yang
mati adalah adik kandungnya sendiri. Karena kembang itu keberadaanya
masih ada hubunganya dengan kelaziman para dewa.
Maka
selanjutnya di putuskan, bahwa Subadra bisa hidup kembali, tetapi harus
dengan syarat mayatnya di larung atau dihanyutkan dengan sampan di
lautan. Konon sesampai di tengah laut, di ketemukan oleh Raden
Anantareja, putra Dewi Nagagini hasil dari perkawinan dengan Raden
Wrekodara, yang karena tugas-tugas kemanusiaanya, terpaksa meninggalkan
Nagagini sewaktu sedang hamil. Dan lahirlah Raden Anantareja yang sejak
bayi sampai dewasa hanya diasuh oleh ibu dan kakeknya Anantaboga. Saat
pun tiba Anantareja ingin melihat dan berbakti kepada ayahnya. Kecuali
hal itu kesatria ini agaknya malu karena kakeknya seekor ular raksasa.
Berangkat
dari beban rasa dari sang cucu, sebagai seorang dewa, Anantaboga pun
menangkap filsafat, bahwasanya pada saat itulah ia harus menggunakan
Ajian Kawastrawam. Maka keluarlah Lenga Tala yang berisi dua ajian,
yaitu Upas Bento Geni yang berfungsi mematikan lawan manakala bekas
pijakan telapak kakinya terjilat oleh pemilik Upas Bento Geni, siapapun
orangnya termasuk dewa sekalipun.
Yang
kedua Ajian Panglerepan yang berfungsi sebagai penghidup, penyembuh,
pengawet muda dan pesona. Namun pada awal pemakaianya ajian ini hanya
dapat digunakan sebagai penghidup dan penyembuh hanya satu kali ditelan
oleh pasien. Sesudah itu, apabila pasien tadi berhubungan badan dengan
seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan daya awet muda, tampan
dan sangat mempesona lawan jenis, dan konon bidadaripun akan terpesona
penuh kepasrahan manakala pernah bertemu, bersalaman, beramah tamah,
apalagi sempat berciuman dengannya.
Kecuali
Lenga Tala, terkelupaslah Wlungsungan yang disebut Wasunanda, yang
dapat digunakan menyelam didalam tanah sebagaimana meyelam didalam air
dan dapat mengambang diatas air sebagaimana berada di daratan. Lenga
Tala dan Wasunanda semuanya diberikan kepada cucunda Antareja yang
terperangah dalam kebahagiaan dan kebanggaan. Terperangah karena melihat
Sang Kakek berujud ksatria, bahagia karena diijinkan mencari ayahnya
dan bangga karena diberi bekal ajian tadi.
Berangkatlah
Raden Anantareja dari dasar samodra dan kebetulan saja menemukan sosok
mayat diatas rakit yang terapung-apung di laut lepas. Karena sebelumnya
sudah mendapatkan petunjuk dari sang kakek, lalu digunakanlah Aji
Panglerepan untuk menyembuhkan Subadra, yang langsung siuman, berkenalan
dan sanggup menghadapkan Anantareja kepada Ayahnya yaitu Bima yang juga
kakak ipar Subadra.
Dalam
pada itu, Arjuna yang dirundung was-was didalam penantian, sudah hampir
putus asa dan bermaksud akan melakukan bunuh diri secara diam-diam
denga menelan Kala Wulung yang sedang bertelur. Kala Wulung adalah
sebangsa serangga kala hitam yang berbisa sangat mematikan. Apalagi bila
sedang bertelur. Akan tetapi sebagai pemilik keris Pusaka kala Nadah,
bisa kala itu tidak membuatnya mati, bahkan menjadikan bahan ajian
manakala sudah berhubungan badan dengan bekas pasien yang diobati dengan
Aji Panglerepan.
Singkat
cerita berbahagialah keluarga besar Pandawa atas pulangnya Subadra
disertai Anantareja yang langsung dipertemukan dengan ayahnya. Dan
setelah Arjuna melakukan hubungan badan dengan istrinya, maka menyatulah
Kala Wulung dengan Panglerepan yang selanjutnya dinamakan Ajian
Madiguna, yang artinya sperma berilmu.
Sebagai
titisan Wisnu, Kresna waspada bahwa kematian sementara dari Subadra
akan membawa hikmah dan faedah yang bernilai Ketuhanan, keadilan dan
kemanusiaan yang sangat tinggi. Dan dia tahu, Subadra tidak harus
disembuhkan dengan Cangkok Wijaya Mulya miliknya. Karena kelak akan
digunakan untuk menyembuhkan Arjuna dari kematian sebagai akibat dari
perang tanding melawan Palgunadi dalam lakon Palguna Palgunadi.
Sebenarnya
Prabu Palgunadi dari Negara Paranggelung bukanlah siswa resmi Resi
Drona, karena perbedaan status social, yakni Prabu Palgunadi hanya raja
kecil dari wilayah sempit, tidak boleh berguru kepada Resi Drona yang
notabene adalah Guru Besar dari Raja Besar keturunan Bharata. Namun
karena besarnya minat untuk berguru kepada Drona yang terkenal piawai
didalam ilmu perang dan kanuragan itu, maka pada akhirnya ditempuhlah
siasat untuk mencapai maksudnya.
Maka disuruhlah istrinya untuk mengabdi di padepokan Soka Lima
tempat Resi Drona mendirikan Kampus Akademi Militer. Didalam mengabdi,
Dewi Anggraini yang terkenal sebagai wanita yang sangat tinggi kesetiaan
dan pengabdianya kepada sang suami itu, di suruh mengamati dan mencatat
semua pelajaran dan kegiatan Soka Lima, dengan menyamar sebagai
Sekretaris Rektor Urusan Kemahasiswaan, maka misi itu sangatlah mudah
dijalankan.
Semua
kegiatan perkuliahaan yang berhasil disadap dengan cermat oleh
Anggraini, diberikan kepada Palgunadi yang berupaya belajar sendiri di
tengah hutan dengan membuat patung Drona sebagai guru idolanya itu,
untuk kemudian dipelajari, dianalisa lalu dipraktekkan dengan tekun dan
seksama. Walaupun isi diktat lewat Anggraini hanya disampaikan dengan
system tutor semata, akhirnya Palgunadi berhasil menjadi Sarjana Perang
yang handal, setingkat lebih tinggi dari Arjuna, mahasiswa terkasih
Drona.
Suatu
saat, usai Wisuda Sarjana Soka Lima, seluruh insane almamater
mengadakan wisata Purna Sarjana, dengan mempraktekkan kepiawaian
masing-masing dengan berburu hewan dihutan. Hanya saja secara kebetulan
hutan yang digunakan sebagai kawasan praktikum itu, sekawasan dengan
kampus “Universitas Terbuka” dengan mahasiswa tunggal yakni Palgunadi.
Pada kegiatan itu, sebagai sekretaris rector yang merangkap Kepala Urusa
Rumah Tangga dari Universitas Soka Lima, Anggraini ikut pula.
Tidk
ketinggalan anjing-anjing pelacak keberadaan hewan liarpun digunakan
sebagai sarana. Singkat cerita, betapa terkejutnya Arjuna, yang melihat
moncong anjingnya terluka parah karena tertancap lima anak panah sekaligus. Dengan geram Arjuna melacak asal muasal anak panah tersebut.
Dalam
pada itu Anggraini cepat tanggap, atas kejadian itu tak urung bila
pelacakan Arjuna sampai di kampus Palgunadi bakal terjadi keributan.
Maka secara diam-diam Anggraini mengikuti Arjuna dari jauh. Ternyata
benar apa yang dikhawatirkan Anggraini, tanda-tanda keributan mulai
nampak.
Apabila
berbicara serius disertai senyum pertanda bahwa Arjuna sedang menahan
amarah besar kepada Palgunadi. Nampaknya Arjuna cemburu melihat meliht
kampus UT Swasta di tengah hutan, yang memperlihatkan kerapian
managemennya. Palgunadi mahasiswa tunggal yang menempuh program non
gelar itu berbadan kekar, dengan sorot mata yang tajam yang menunjukkan
tingkat kematangan ilmunya.
Alat-alat
perang tersedia dengan sangat cukup sebagai sarana dan prasarana
praktikum. Jadwal kegiatan harian, bulanan dan kalender akademik tertata
rapi dan tercantum frekuensi kegiatan yang sangat padat dan efektif,
melebihi Perguruan Tinggi Negeri Soka Lima. Diktat-diktat dari hasil
serapan dan sadapan istrinya, dibukukan, disusun rapi dan lengkap tak
ada yang tercecer.
Yang
membuat arjuna semakin cemburu ilmu adalah, di kampus UT Swasta itu
mempunyai perpustakaan jauh lebih lengkap disbanding Perguruan Tinggi
Negeri Soka Lima. Apalagi ditambah buku petunjuk praktikum susunan Sang
Mahasiswa Tunggal itu jumlahnya cukup banyak dan tidak dimiliki oleh
Soka Lima.
Kemarahan
karena cemburu ilmu itupun makin menjadi-jadi manakala di halaman
Kampus itu terpampang patung Drona sebagai symbol almamater. Yang
demikian itu sangat menyinggung perasaan Arjuna sebagai mahasiswa
terkasih dari Drona, yang karena dosen tetap dari Perguruan Tinggi
Negeri itu cara penyelenggaraan kegiatan belajar terkesan seenaknya,
teoritis, monologis, teks book dan dogmatis, dimana hal seperti itu
sangat membosankan. Sebagai dampaknya hasil lulusan dari pendidikanyapun
hanya layak title tetapi tidak layak pakai.
Disertai
luapan amarah itupun dengan setengah menghardik, Arjuna bertanya: “Hai
Ki Sanak, kaukah yang melukai anjingku?!” dengan tenang Palgunadi
mengangguk. Dalam pada itu Anggraini sudah tiba dan langsung berdiri
ditengah-tengah keduanya. “dengan satu persatu atau lima
anak panah sekaligus, heh!” Tanya Arjuna ketus. Dengan kesabaran yang
menunjukkan kematangan ilmu dan kedewasaanya Palgunadi sembari
tersenyum, menjawab dengan isyarat memekarkan lima jari tangannya.
“Dari
mana kau menyadap ilmu kami”, Tanya Arjuna sambil menunjuk ruang
perpustakaan. Dalam pertanyaan ini sebenarnya Arjuna sangat malu hati.
Karena para mahasiswa di Soka Lima enggan membukukan kuliah dari
dosennya. Bahkan membuat sinopsispun jarang dilakukan. Membuat karya
ilmiah kadang-kadang dengan menyontek dan mengubah judul. Penelitian
ilmiahpun dapat didengkul. Dan apabila semua itu disyaratkan untuk
mencapai kelulusan satu strata, jalan pintas dengan menyogok dosen yang
semakin kaya itupun dilakukan, lebih-lebih oleh Mahasiswa dari Korawa
yang notabene anak-anak pejabat tinggi dan sering mendikte dosen.
Dengan
ramah Palgunadi menjelaskan, bahwa yang mensuplai diktat dan bertindak
sebagai tutor sebenarnya adalah Anggraini, istrinya. Mendengar itu
Arjuna berujar kasar: “pantas selama ini Anggraini rajin sebagai
peninjau kuliahku…!”. Mendengar ini Palgunadi nampak cemburu berat
melihat ketampanan Arjuna yang “nilai jualnya” lebih tinggi darinya.
Maka
Palgunadi bertanya kepada Anggraini: “Benarkah apa yang dikatakan
Arjuna , hai istriku?” Angrainipun mengangguk takut. Tahu rasanya bila
Palgunadi cemburu berat, walaupun kenyataanya belum pernah sengaja atau
tidak, ia bercinta dengan Arjuna, yang bintang kampus karena ketampanan
dan kesederhanaanya itu. Bagi Anggraini hanya seorang laki-laki yang ia
cintai, yaitu suaminya, betapapun nilai jualnya tak lebih tinggi
disbanding Arjuna.
Kecemburuan
Palgunadi makin membara, manakala ia ingat sewaktu membaca majalah
dinding Kampus Soka Lima, yang sering memuat rubrik berisikan kepiawaian
Arjuna di dalam bermain cinta, penyandang title sebagai raja cumbu rayu
dan sanggup mencintai sejumlah wanita dalam waktu yng sama.
Palgunadipun tertegun disertai perasaan dan khayalan yang memicu rasa
cemburunya. Dalam pada itu Arjuna mengacak-acak perpustakaan Palgunadi
sehingga berantakan tak karuan.
Bagai
air bah dari bendunga pecah, kesabaran Palgunadi tak terkendali lagi.
Diseretnya Arjuna dan duelpun tak dapat dihindari. Setelah perang
tanding cukup seru dan lama, ternyata arjuna berhasil dibunuh oleh
Palgunadi. Disitulah akhirnya Kresna menggunakan Kembang Cangkok Wijaya
Mulya sebagai penyembuh untuk Arjuna.
Selanjutnya
nasib Palgunadi menjalani eksekusi hukuman mati dengan tuduhan
membunuh, menyontek ilmu dan melecehkan Guru Besr dengan mematungkannya
dimana hal ini sangat menyinggung almamater. Dengan melewati proses
peradilan yang penuh rekayasa, akhirnya Anggrainipun bela pati dengan
bunuh diri, dan kekayaan kampus UT nya disita untuk negara.
KUDA AUCES RAWAS
Atau
Kuda Uces Rawas yang juga disebut Kuda Swandana, yaitu kuda sebanyak
empat ekor dengan warna kulit yang berbeda satu dengan yang lainya,
yaitu merah, hitam, kuning dan putih. Keempat kuda dari surga ini
dianugerahkan kepada Bathara Wisnu sebagai penarik kereta kedewaanya,
agar menjadi sarana dalam menjalankan tugas sebagai dewa pembagi
kebahagiaan.
Dalam
Lakon Kresna Gugah keempat kuda itu dianugerahkan oleh Wisnu kepada
Kresna, sebagai penarik kereta perang untuk Arjuna di dalam Perang
Bharatayuda, yang di kusiri sendiri oleh Prabu Kresna. Dalam lakon itu,
kecuali mendapatkan anugerah Kuda Swandana, masih ada partai tambahan
untuk Kresna, berupa Kitab Jitab Sara, yang memuat kerahasiaan dan tata
aturan di dalam Bharatayuda Jaya Binangun kelak.
Sebagai
penyandang title Bhatara, Prabu Kresna yang mengetahui liku-liku
kerahasiaan Bharatayuda, juga masih saja terpaksa melakukan KKN. Di
dalam Bharatayuda, Prabu Baladewa yang kakak kandung Prabu Kresna,
sebagai kekuatan poros tengah yang cenderung memihak kepada Kurawa itu,
di dalam Jitab Sara dia harus bertempur melawan Anantareja yang memiliki
Ajian Bento Geni, dengan kemampuan dapat membunuh musuh hanya dengan
menjilat tanah bekas pijakan telapak kakinya.
Agar
Baladewa tidak mati konyol di tangan Anantareja, oleh Prabu Kresna di
perintahkan untuk bertapa di Grojokan Sewu, sampai batas waktu yang
tidak di tentukan, dengan tujuan agar tidak mendengar berita tentang
Bharatayuda.
Anantareja
sendiri ditipu oleh Prabu Kresna, dengan disanjung bahwa semua ksatria
tidak ada yang mampu membawa Senjata Cakra miliknya, kecuali Anantareja.
Namun harus dengan syarat, cara membawanya pada bagian tajamnya di
biarkan bergulir di tanah sedang yang dipegang adalah hulunya.
Begitu
dilakukan dengan cara tersebut, Cakra yang sangat ampuh itu, roda
bergigi delapan bagian tajamnya cakra itupun akhirnya mengenai
baying-bayang Anantareja, dan pada saat itu pulalah dia meninggal duni.
Karena memang disitu letak kelemahanya, tak dapat dibunuh dengan cara
apapun kecuali bila baying-bayang badanya yang kena tikam. Demikian
Prabu Kresna melakukan KKN didalam melindungi keluarganya dari kematian,
berhubung dia mengetahui liku-liku kerahasiaan Bharatayuda dari Kitab
Jitab Sara.
Demikianlah,
walaupun Krisna adalah titisan Wisnu, Dewa pembagi kebahagiaan, agaknya
tetap saja khilaf dan tergoda untuk melakukan KKN dan melanggar HAM.
KKN karena memprioritaskan Baladewa yang kakaknya sendiri agar tetap
bertahan hidup sampai usai perang Bharatayuda. Sedang pelanggaran HAM
dia lakukan dalam merencanakan kematian Sang Anantareja.
Pelanggaran
itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh pemegang Kitab Jitab Sara yang
merupakan rahasia Para Dewa. Atas perbuatanya itu Krisna dipersalahkan
dan dianggap berdosaoleh para dewa. Dan sebagai hukumanya dia tidak
berhak masuk ke Nirwana untuk menuju Moksa didalam kematianya kelak
kecuali atas pertolongan Prabu Yudistira titisan Bhatara Dharma, didalam
lakon Pandawa Moksa.
TIRTA AMRITA
Tirta
Amrita berasal dari kata Tirta yang artinya air, A artinya tidak dan
Mrita artinya mati. Makna lengkapnya adalah air yang menyebabkan tidak
mati atau air kehidupan. Dari mengambil makna ini maka menyebabkan tirta
amrita dijadikan rebutan diantara Para Sura dan Asura yang menyebabkan
pertempuran mirip tawuran antar kelompok di jaman ini.
Pada
akhirnya Tirta Amrita yang didunia pewyangan sering disebut Tirta
Amerta, yang keluar paling akhir dari perut bumi melalui dasar Samodra
Selatan ini, oleh Batara Guru diambil alih dan disembunyikan disuatu
tempat yang tidak diketahui oleh para dewa, raksasa dan manusia. Kecuali
oleh seseorang yang nunggak semi atau dapat meniru perilaku Batara Guru
didalam menelan Nilantaka yang merupakan bukti sikap rela berkorban
demi kepentingan tiga dunia.
Semisal
ada seseorang yang karena ketekunanya dan berhasil tahu Tirta Amrita
disimpan, belum tentu tahu cara mengambilnya. Dan seumpama dia bisa
mengambilnya, belum tentu tahu cara menggunakanya. Karena cara mengambil
dan menggunakanya harus menggunakan cara tertentu dan khusus yang
mensyaratkan berbagai macam laku, sarana dan prasarana khusus yang harus
dipimpim oleh orang yang mempunyai cirri-ciri toh ungu seperti
disebutkan terdahulu.
Demikian
seklumit tentang hubungan pewayangan dengan pertapaan Mandhara Giri di
Gunung Srandil dan Selok yang dianggap sebagai tapak petilasan dari
lakon Samodra Mantana. Bila kita menganalisa lakon diatas, serta ditarik
hikmah kesimpulanya, maka bagi siapa saja yang bermaksud hendak lelaku
di pertapan mana saja khususnya di Srandil, seharusnya perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Harus
ada Guru Laku atau pembimbing spiritual yang dapat dipercaya dalam arti
tidak hanya sekedar mengetahui tempatnya dan nama tokoh-tokoh legenda
saja, maaf, sebagaimana juru kunci yang hanya sekedar menjual jasa
pelayanan kepada peziarah, dengan bermodalkan anya dapat membaca yang
dapat dilakukan oleh siapa saja. Sedangkan “berdoa” tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang. Diharapkan sebagai pembimbing
spriritual, minimal harus mampu berdoa dan mengetahui hal-hal gaib.
Mematuhi
“dhawuh” atau petunjuk Guru Laku. Yang dimaksud adalah petunjuk yang
mengandung kebenaran objektif dan bermanfaat bagi para pengikutnya,
dalam hal: cara, aturan, etika dan yang lebih baku adalah tentang
petunjuk bagaimana seharusnya perilaku di pertapaan yang sesuai dengan
nuansa gaib yang baik dan benar, dengan kewaspadaan batin mengetahui
mana yang dijalankan dan mana yang tidak.
Jangan
open, maksudnya adalah jangan bernafsu memiliki sesuatu yang seharusnya
bukan jatahnya. Jangan pula dengki dan konkiren atas apa yang diberikan
oleh Guru Laku kepada semua siswanya. Karena sesungguhnya hanya atas
petunjuk gaib, Guru Laku memberikan apa-apa kepada siswanya yang satu
sedangkn yang lain tidak. Bukan berarti Guru Laku tidak adil. Semua itu
disesuaikan menurut jatah masing-masing orang yang mestinya berbeda-beda
berdasarkan kepentingan pribadi tiap siswanya, karena setiap orang
mempunyai kepentingan, khajad, sifat dan kisah hidup yang berbeda-beda
pula.
Maka
sebaiknya janganlah meminta apa-apa yang tidak semestinya kepada Guru
Laku. Namun demikian, berhubung Guru Laku juga manusia biasa yang tidak
lepas dari lupa dan lalai, salah dan lemah maka para siswanya tentu saja
boleh mengingatkan manakala Guru Laku kebetulan berkata dan berbuat
yang menunjukkan kealpaanya.
Perlu
pula diingat, berhubung Guru Laku biasanya besar rasa kasihnya kepada
segenap siswanya, maka sering dirundung rasa tidak tega apabila ada
siswanya yang merengek meminta sesuatu yang bukan jatahnya. Kadang
diberikan begitu saja, meskipun bukan jatahnya atau belum jatuh waktu
sang siswa memiliki apa yang di mintanya itu.
Begitulah
kelemahanya, apabila seseorang sedang terbelenggu oleh objek cintanya.
Dibalik kepintaranya terselip ketololanya dan dibalik kecermatanya akan
nampak keteledoranya. Apa yang diberikan dengan cara diatas, karena
dipengaruhi oleh ketololan dan keteledoran serta tergesa-gesa dan belum
waktunya, lalu yang diberikan itu tidak menganut tatanan gaib. Maka
biasanya akan terjadi sesuatu yang kurang baik bagi yang diberi sesuatu
oleh Guru Lakunya itu.
Apa
yang terjadi seperti dicontohkan diatas, biasanya tingkat kesulitan
yang diterima oleh siswa yang menerima pemberian yang bersifat “Anggege
Mangsa” itu, kejadianya sebagaimana yang tersirat dalam lakon wayang
“Nara Singha”.
Pada
waktu itu Kahyangan Suralaya berhasil dikuasai oleh Raja Raksasa Prabu
Sumangliawan dan Patihnya Kala Mangli, yang sesungguhny kecuali mereka
kakak beradik, kedua raksasa itu seperguruan dan satu pertapaan.
Mereka
berdua sangat sakti, bahkan tidak dapat dikalahkan oleh dewa, ksatria
maupun raksasa sendiri. Kesaktian itu mereka peroleh berkat
keberhasilanya didalam bertapa dan memperoleh anugerah dari Dewa Hagni
berupa “Sabda”, tidak dapat dikalahkan oleh dewa, manusia maupun
raksasa. Dan agaknya Sabda Sang Hagni kini menjadi bumerang bagi para
dewa sendiri, dimana sabda itu tidak mungkin ditarik kembali.
Akibatnya
sewaktu mereka berdua melakukan “Demontrasi” dengan aksi pengerahan
massa besar-besaran dengan tindakan yang cenderung anarkis di pusat
pemerintahan para dewa, Raja para dewapun tidak sanggup untuk
mengatasinya. Apabila akan mengatasi dengan cara kekerasan, kubu para
dewa memang menang persenjataan dan prasarana. Akan tetapi dari segi
jumlah massa dan tingkat kenekatan, kubu Sumangliawan lebih unggul.
Pada
akhirnya pemerintahan para dewa mengadakan Sidang Kabinet mendadak
dengan agenda tunggal membahas masalah mengatasi kerusuhan yang terkesan
terorganisir dan terencana dengan rapi, disertai dukungan kekuatan
massa yang sangat besar, yang kebanyakan dari kalangan raksasa, yang
sudah barang tentu sangat kasar dan beringas. Mengingat latar belakang
mereka memang demikian. Sedang aksi serupa yang dilakukan oleh manusia
saja bisa kasar, beringas dan anarkis, apalagi oleh raksasa.
Secara
analisis, kerusuhan sebagai akibat dari dua orang tokoh LSM kalangan
raksasa itu, berawal dari intimidasi dan penetrasi terselubung oleh para
dewa sendiri, terhadap niat mereka berkoalisi, dimana masing-masing
dari mereka sebenarnya adalah mempunyai kekuasaan dan kewenangan wilayah
sendiri-sendiri, sebagai kekhawatiran terhadap kemungkinan pengerahan
massa yang mengarah ke makar. Dan ternyata kekhawatiran para dewa itu
kini benar-benar terjadi.
Waktu
itu yang ditugasi oleh Batara Guru untuk melakukan penetrasi dan
intimidasi terselubung adalah Batara Hagni, yang disuruh memerintahkan
kepada kedua raksasa itu untuk bertapa dengan janji imbalan kesaktian
seperti tersebut terdahulu, dengan syarat selama bertapa tidak boleh
mengadakan hubungan dan pendekatan kepada aparat penguasa para dewa.
Tetapi
yang terjadi benar-benar diluar dugaan para dewa. Karena mereka bertapa
dihutan “konsolidasi” yang memungkinkan untuk mengadakan pendekatan
dengan arus bawahsecara intensif tanpa dapat dipantau oleh para
penguasa. Sebagai akibatnya timbulah gerakan makar yang sangat kuat,
bagai jebolnya bendungan besar, yang tak urung merepotkan para dewa
sendiri.
Secara
strategis, untuk mengatasi masalah ini diserahkan kepada Batara Wisnu,
dengan cara melakukan tiwikrama merubah wujud dirinya menjadi Nara
Singha, yaitu seorang ksatria berbadan raksasa, berkepala singa dan
berperangai dewa. Ini adalah modal yang pertama. Sedang modal lainya
berupa Bende atau terompet Panca Jannya dan Senjata Cakra Baskara.
Dengan
kepribadianya, Dewa Wisnu yang disertai modal diatas, dapat dipastikan
bisa mengatasi masalah. Sebagai Dewa Pembagi Kebahagiaan, Wisnu
disenangi oleh semua kalangan, termasuk kelompok-kelompok yang sedang
berseberangan. Dengan tiwikrama, Wisnu mengetahui bahasa kebutuhan
masing-masing kelompok yang berbeda.
Dengan
Terompet Panca Jannya yang menurut makna kata adalah lima kelompok
insan, Wisnu menggunakan tehnik-tehnik tertentu untuk menyampaikan pesan
perdamaian, misalnya lewat jalur budaya, adat kebiasaan dan
kekhawatiranyang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Senjata
cakra yang berupa anak panah dengan bentuk roda bergigi delapan yang
semuanya sangat tajam itu, dipergunakan untuk upaya penyelesaian masalah
dengan cara berunding yang membutuhkaan ketajaman kata yang diplomatis,
dimana hal itu merupakan bakat Sang Wisnu.
Akan
tetapi betapa sulitnya hal itu dilakukan, karena ternyata Dewa Wisnu
tidak ikut hadir didalam pertandingan itu, ternyata dia sedang bertapa
dan tidak seorang dewapun berhasil membangunkanya. Lalu Batara Guru
memerintahkan kepada Bidadari Wil Utama dengan diikuti empat puluh
bidadari yang lain, untuk menggoda Wisnu agar terbangun dari tapanya,
tetapi dengan syarat Wil Utama dalam keadaan apapun tidak sampai tergoda
untuk berhubungan badan dengan Sang Wisnu, sebagai dewa yang terkenal
tampan dan romantis itu.
Singkat
cerita Wil Utama berhasil membangunkan tapa Wisnu, akan tetapi keduanya
yang pada masa lalu pernah gagal didalam memadu kasih, akhirnya lupa
daratan dan kisah-kasihnya kumat lagi, maka hubungan badanpun tak dapat
dihindari. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Setelah
usai berasik-masyuk, maka sadarlah Wil Utama bahwa dia telah melanggar
pantangan dari Batara Guru.
Karena
mendapat laporan tentang perselingkuhan antara Wisnu dan Wil Utama,
Batara Gurupun marah besar. Setelah memerintahkan Wisnu untuk maju
menghadapi perusuh dan berhasil dengan baik, walaupun nyaris gagal
karena kesaktian dua raksasa kakak beradik itu, akhirnya Wil Utama
diadili dan mendapat hukuman berupa kutukan dari Raja Para Dewa:”…Hai
Wil Utama, yang kau lakukan itu perilaku seekor hewan…” Dan menangislah
Wil Utama memelas sekali karena dia kini berubah menjadi kuda sembrani.
Walaupun didalam hati Batara Guru iba kepada Wil Utama, namun sabda tak
dapat ditarik kembali.
Akhirnya
kepada Wil Utama dijanjikan akan diberi “grasi” apabila dia mau bertapa
di tepi Sungai Gangga. Besok kelak apabila ada seorang ksatria mendapat
kesulitan untuk menyebrang dan kuda sembrani yang jelmaan Wil Utama
tadi berhasil menolongnya dengan cara “ditunggangi” oleh ksatria itu
sampai keseberang, maka akan pulih wujud kebidadarian Sang Wil Utama.
Namun
karena kuda betina yang harus menolong Raden Kombayana dari Atas Angin
itu, tidak sekedar ditunggangi saja, tetapi lebih dari itu, maka kuda
tungganganpun akhirnya bunting, dan melahirkan bayi manusia yang berkaki
kuda, yang diberi nama Raden Haswa Suta Utama yang biasa dipanggil
Aswatama. Sejak melahirkan itulah kuda betina berubah menjadi bidadari
lagi dan segera kembali lagi untuk menunaikan tugas kebidadarian seperti
sedia kala dan tak sempat diperistri oleh Raden Kombayana.
Demikianlah
yang tersirat dari lakon ini, bahwasanya bagi siapa saja yang tidak
mematuhi dan menurut ajaran Guru Laku dan tidak mau menerima pembagian
secara jatah, serta anggege mangsa, akan berakibat kurang baik yang juga
berdampak sampai kepada keturunanya.
Jangan
mudah mengucapkan supata dan menyumpahi orang, yang maksudnya jangan
mudah berkata-kata yang jelek, karena apabila sudah pernah merambah
suatu pertapan yang tinggi nilai sakralitasnya, disekujur tubuh
seakan-akan diselimuti daya gaib dari pertapaan itu. Akibatnya apa yang
dikatakan manjur, sehat sentosa badanya, serta mudah terkabul
cita-citanya. Layaknya seperti ada yang mengatur pola hidupnya dan
selamat warga dan harta yang dimilikinya. Apabila sudah manjur apa yang
dikatakan, pakailah nuansa itu untuk berdoa dan mendoakan orang lain.
Jangan digunakan bersupata dan menyumpahi orang karena akibatnya bisa
fatal. Apalagi Pertapaan Mandala Giri Srandil yang konon merupakan
petilasan dari Para Dewa Mengebor Tirta Amrita.
Jangan
memperhitungkan untung dan rugi didalam penggunaan biaya selama dalam
pertapaan, sebab dengan demikian akan terkesan tidak dengan suka rela.
Padahal suka rela adalah modal utama dari laku bertapa dan bergaul
dengan dunia gaib. Apabila proses gaib terbuka melalui azas sukarela
dengan dilandasi rasa percaya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa,
maka akan terasa dekat kepadaNya. Dengan kedekatan kepada Tuhan, pada
giliranya akan mudah terkabul segala doanya, karena semacam ada rasa
yang sambung kehadiratNya.
Telaten,
rajin dan bersungguh-sungguh, yang maksudnya jangan mudah putus asa
apabila belum dapat mencapai apa yang menjadi keinginanya. Selalulah
percaya kepada Tuhan yang senantiasa akan memilihkan yang terbaik kepada
hambaNya, pada saat yang bertepatan dengan kebutuhan akan dapat
mengatasinya atas Karsa Tuhan.
Telaten
dalam pengertian jangan menolak rejeki yang hanya sedikit. Sebaliknya
apabila mendapat rejeki yang banyak dan mendadak malah bingung cara
menggunakanya. Akibatnya yang dibelanjakan hal-hal yang tidak bernilai
guna dan mungkin apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Akhirnya apabila
tidak tepat didalam pengelolaan rejeki, akan tanpa gunalah didalam
menjalani laku pertapaan, ibarat membuang niat, kehabisan syarat tanpa
mendapat berkat.
Menjaga
tata-susila di pertapaan, baik kepada sesama peziarah maupun kepada
sesama rombongan dan keluarga sendiri. Terlebih lagi tata-susila
terhadap para leluhur yang akan diziarahi, walaupun hanya berupa suatu
tempat yang merupakan petilasan. Tanamkanlah rasa didalam hati
seakan-akan kita sedang berhadapan dengan beliau, saat sedang berdoa
dengan menempati petilasan itu. Mengeluhlah kepadanya sebagaimana bila
kita mengeluh kepada orang tua sendiri, dengan penuh rasa nelangsa yang
disisipi cita-cita.
Sebagaimana
tercantum didalam rangkaian kata didalam doa: “Bersujud kepada Tuhan
Yang Maha Suci, sembah bakti kepada para pepunden sari…Sembah dihaturkan
segala derita dan cita-cita, Derita memohon disembuhkan, cita-cita
mohon dikabulkan. Mohon berkah perlindungan. Berkah mohon rejeki yang
agung dan meyelamatkan, perlindungan mohon selamat di dunia sampai
akhirat, meliputi warga dan harta benda kami, amin”.
Namun
demikian tidak menutup kemungkinan, apabila doa tadi sudah dikabulkan
oleh Tuhan, akan mengundang kecemburuan social dengan timbulnya sangkaan
yang bukan-bukan, baik oleh tetangga, kenalan atau bahkan mungkin oleh
kerabt dekatnya sendiri yang belum tahu pasti proses yang
mendahuluiperolehan berkah itu.
Mungkin
mereka akan meyangka kita melakukan KKN atau mendapat rejeki yang tidak
halal. Bahkan juga pengalaman teman peziarah yang sudah terkabul
cita-citanya, disangka nyupang atau memelihara sebangsa tuyul dan
pesugihan lainya. Dan gangguan itu akan berkembang terus manakala
peziarah yang sudah berhasil itu kurang peduli terhadap lingkungan
dekatnya. Kita dikir memelihara setan dari Srandil. Padahal si pengira
tadi belum tentu mengetahui keberadaan Srandil dan belum tentu tahu apa,
siapa dan bagaimana setan itu.
Menurut
pendapat penulis, tanpa ke Srandilpun seseorang dapat juga digoda
setan, lebih-lebih bagi yang tipis imanya dan kurang rasa pasrahnya
kepada Tuhan. Padahal dari agama apapun mengajarkan, orang yang tinggi
imanya, tak mudah di goda setan. Dan kecenderungan mengumbar hawa nafsu
itulah sebenarnya yang merupakan kendaraan setan menuju alam pikiran
manusia. Dan seseorang yang selalu merasa dekat kepada Tuhan seharusnya
tidak takut kepada setan dalam bentuk apapun, kecuali kepada Tuhan. Maka
dimanapun dan kapanpun perilaku seseorang menunjukkan kemantapan dan
ketetapan hati yang selalu taat dan percaya kepada Tuhan.
TOKOH LEGENDARIS
Sebelum
hal ini diuraikan, perlu kiranya dipahami beberapa kata dan istilah
yang disandangkan kepada Tokoh Legendaris pada pertapaan, terutama di
Pertapaan Mandala Giri Srandil:
Hyang
Berasal dari Bahasa Sanskerta yang artinya kira-kira pemelihara.
Dewa
Berasal dari kata Div yang artinya cahaya Ketuhanan.
Batara
Berasal dari kata Batr yang artinya menemani.
Orang
Jawa menyebut Hyang denga kata Eyang, Dewa dengan kata Dewa
(baca:Dewo), Batara dengan kata Bathara dan Batr dengan kata Batir.
Berhubung
tokoh-tokoh yang dianggap para leluhur di Pertapaan Mandala Giri
Srandil tidak tercantum di dalam Buku Sejarah dan buku-buku lainya, maka
untuk memudahkan kita meyebutnya tokoh legendaris, yang dipercaya bahwa
pada saat hidupnya dahulu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu serta
mempunyai keutamaan-keutamaan didalam ilmu Ketuhanan, keluhuran budi
pekerti atau sifat lain yang utama, misalnya:
HYANG AGUNG HERU COKRO
Menurut
kepercayaan, nama itu adalah gelar spiritual dari nama aslinya SULTAN
AGUNG HANYOKRO KUSUMO, di mana nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang.
Pada waktu menjadi Raja Mataram Islam, beliau bertapa dilingkungan
Pertapaan Mandala Giri Srandil, yang pada waktu itu dilingkunganya masih
merupakan hutan belantara yang masih rawan dan perawan dan terkenal
sangat angker. Konon siapapun yang datang kesana hanya pulang namanya
saja dan bahkan hewanpun akan mati apabila memasuki kawasan itu.
Tetapi karena beratnya misi untuk mengusir penjajah Belanda dan berencana akan melakukan penyerbuan ke Batavia,
maka sebagai awal-mula dari niatnya itu, beliau perlu memperkuat jiwa
dan raganya dengan bertapa di Gunung Srandil, dengan maksud seperti yang
tersirat dalam Candra Sengkala “SIRNANING YAKSA KATON GAPURANING RATU”.
Candra
Sengkala adalah pernyataan suatu bilangan angka tahun Çaka didalam
bentuk perkataan yang disandikan dan mengandung pengertian didalam apa
yang menjadi tujuanya. Serta mengandung pesan-pesan kefilsafatan yang
sangat dalam maknanya. Dan biasanya hanya orang Jawa yang memahami
Sastra Jawa saja yang tahu makna kata-kata dalam Candra Sengkala
tersebut.
Apabila
Candra Sengkala diatas dibaca dari belakang, maka mengartikan suatu
bilangan 1610, yang menunjukkan angka tahun Çaka. Sedangkan makna kata
di dalam Candra Sengkala itu merupakan pesan tersembunyi kepada
rakyatnya, bahwasanya apabila Bangsa Indonesia ingin mencapai Gemah
Ripah Loh Jinawi atau adil makmur dan tenteram, terlebih dahulu harus
menyingkirkan angkara murkanya para penjajah Belanda.
Semenjak
Pertapaan Mandala Giri Srandil ada, maksudnya sejak jaman purba,
kawasanya belum pernah terjamah manusia. Dan Hyang Agung Heru Cokro
adalah orang pertama yang berani memasuki pertapaan tersebut. Semenjak
itu dan seterusnya, pertapaan itu bisa diziarahi oleh siapa saja dan
tidak angker lagi, bahkan dapat melayani para pengalap berkah.
Itu
semua karena Hyang Agung Heru Cokro, kecuali dikenal sebagai prajurit
yang mempunyai kelebihan dalam olah pertempuran, beliau juga memiliki
ilmu yang dapat memilahkan antara Gaib Hakiki dengan Gaib yang Mungkar.
Gaib hakiki adalah gaib yang memiliki nilai Ketuhanan, sedangkankan gaib
mungkar adalah gaibnya sebangsa setan dan jin. Dengan demikian Hyang
Agung Heru Cokro berhasil mewariskan kegunaan Pertapaan Srandil kepada
para penerusnya sampai sekarang.
NINI DEWI TUNJUNG SEKAR SARI
Ini
merupakan nama dari gelar pada tokoh yang bernama DEWI NAWANG WULAN
sewaktu masih menjabat sebagai bidadari. Diceritakan pada waktu sedang
mandi bersama-sama dengan para bidadari yang lain di Sendang Sanjaya,
pakaian jabatanya sebagai bidadari berhasil dicuri oleh seorang jejaka
dari Tarub, yang lalai akan keluhuran budi pekertinya sehingga mencuri
pakaian itu. Namun sebagian kalangan menganggap hal itu merupakan takdir
Tuhan, untuk mengukir legenda yang sampai sekarang sebagian orang masih
mempercayainya.
Jejaka
dari Tarub yang kemudian disebut Jaka Tarub itu kisah legendanya
menjadi berkembang dan sebagian masih ada yang menjadikan tradisi dari
apa yang dipercaya telah dilakukan oleh Tokoh Jaka Tarub tadi. Di mana
Tarub adalah sebuah kata yang artinya tempat persiapan pendirian suatu
negara dan pemerintahan.
Dikatakan
bahwa Tarub artinya suatu tempat persiapan sehari semalam sebelum
didirikan suatu negara. Sehari semalam dalam arti tinggal sat langkah
lagi dalam persiapan menuju pelaksanaan. Sudah barang tentu
langkah-langkah sebelumnya sudah ditempuh dengan berbagai upaya. Sampai
sekarang apabila Orang Jawa akan mengadakan khajatan mantu, sehari
semalam sebelum pelaksanaan, dinamakan Tarub Mantri atau Midodareni.
Tarub Mantri artinya Petugas atau Pejabat dari Desa Tarub, sedangkan
Midodareni artinya kira-kira “membidadarikan” sang calon penganten
perempuan.
Berhubung
pakaian jabatan bidadari dari Dewi Nawang Wulan itu di sembunyikan oleh
Jaka Tarub, maka dengan di paksa oleh kodrat, Dewi Nawang Wulan lalu di
peristri oleh Jaka Tarub, yang nantinya Jaka Tarub ini menjadi Raja
Mataram Hindu dengan gelar Prabu Sahanjaya yang juga disebut Prabu
Sanjaya. Saha artinya disertai, Jaya artinya kekuatan.
Setelah
melalui kurun waktu yang cukup lama, saatnya memastikan secara
kebetulan Dewi Nawang Wulan menemukan tempat pakaian bidadarinya
disembunyikan. Maka dengan serta merta dipakainya dan segera terbang ke
alam bidadarinya. Akan tetapi sungguh malang
nasibnya, kehadiranya di alam dewa-dewi tidak lagi bisa diterima.
Karena sudah pernah berhubungan dengan manusia dengan diperistri oleh
Jaka Tarub sampai dikaruniai anak bernama Nawangsih. Atas penolakan itu
Sang Dewi bermaksud kembali ke Jaka Tarub, tetapi hal itu tidak mungkin
karena penyandang title bidadari tak mungkin hidup didunia manusia. Maka
selanjutnya Sang Dewi hanya dapat menempati alam di “antara” alam dewa
dan manusia.
Selanjutnya secara legenda dipercaya bahwa Dewi Nawang Wulan diperbolehkan menguasai alam “ANTARA”, An artinya bukan dan Tara
artinya makhluk bumi. Yang dimaksud adalah alam yang menjadi perantara
atau menjembatani hubungan antara manusia dengan Gaibnya Tuhan. Alam
antara luasnya tidak terukur secara dimensi. Sedang dibumi yang memiliki
tempat yang sangat luas adalah antariksanya Samodra Selatan. Dari
itulah Dewi Nawang Wulan dipercaya menjadi penguasa Samodra Selatan dan
selanjutnya digelari nama Ratu Kidul atau Nyi Rara Kidul yang ceritanya
menguasai dedemit Samodra Selatan.
Adapun
anggapan dan pandangan yang secara kebetulan berbeda dengan anggapan
penulis, itu hak masing-masing orang. Malah ada yang mengatakan
bahwasanya Ratu Kidul terkadang meminta tumbal berupa manusia pada
waktu-waktu tertentu, konon katanya Ratu Kidul sedang mempunyai khajatan
dan sebagainya. Akan tetapi seandainya Ratu Kidul dianggap tokoh
legenda yang sangar, dahsyat dan jahat karena sering meminta korban
manusia yang mati tenggelam di Samodra Selatan, pandangan itu benar
adanya. Dalam arti kebenaran secara fisik.
Kecuali
dahsyat, kadang nyata sekali jahat dan tidak segan-segan minta korban
nyawa manusia. Akan tetapi sudah barang tentu hanya kepada manusia yang
kurang hati-hati atau dengan sangat terpaksa nyemplung Laut Kidul yang
begitu dahsyat dan jahat gelombang, kedalaman dan badainya, lebih-lebih
apabila kebetulan cuaca buruk. Siapa orangnya yang bisa bertahan hidup
dengan menantang keganasan Samodra Selatan, apabila tanpa sarana yang
memadai untuk turun dilaut itu. Jadi yang penulis maksud dengan
pengertiankeganasan secara fisik adalah keganasan Laut Selatan itu
sendiri yang memang laut terbesar didunia.
KAKI TUNGGUL SABDA JATI DAYA AMONG RAGA
Tokoh
ini dikisahkan sebagai suami Nini Dewi Tunjung Sekar Sari. Dengan
demikian dapatlah diterik kesimpulan bahwa tokoh ini tak lain adalah
Jaka Tarub. Nama Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga adalah gelar
spiritual dari Jaka Tarub dimasa tuanya saat menjadi pendeta. Oleh
karena itu Dewi Nawang Wulan menyesuaikan, lalu mempunyai title
spiritual dengan sebutan Nini Dei Tunjung Sekar Sari.
Apabila ditarik makna kata demi kata; Kaki artinya lelaki tua atau dituakan, mempunyai ilmu yang bermanfaat. Ada
juga yang menarik makna secara akronim, K artinya kawula A anggayuh, K
artinya kagem dan I adalah ing pangreh atau aturan gaib. Dari penarikan
makna agar sesuai yang diinginkan. Dianggap demikian juga boleh.
Tunggul
artinya puncak atau pemuka, Sabda artinya perkataan yang mengandung
kekuatan gaib, Jati artinya yang sesungguhnya, Daya artinya memberi
kekuatan, Among artinya memelihara atau momong dalam pengertian sabar,
rela dan menerimma didalam laku Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun
Karsa dan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Adapun Raga artinya jasad ragawi yang
memegang teguh sifat terpuji.
Selain
itu Among Raga juga mengandung pengertian dapat menata perilaku raganya
sendiri, didalam olah Yoga Pranawa. Yoga artinya laku atau ilmu tentang
menyatunya insane dengan Khaliknya, sedangkan Pranawa artinya terang
hati, didalam proses pengolahan ilmu kemasyarakatan sebagai modal
didalam menjalankan tugas among. Ada
tokoh pamomong didalam wayang yang disebut Semar, maka dari itulah
kadang ada yang menganggap bahwa Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga
adalah Semar.
Menurut
pemikiran penulis, sebagaimana yang pernah penulis uraikan dalam
tulisan lain, bahwa Semar bukanlah tokoh personal, dalam arti bukan
perwujudan suatu makhluk sebangsa manusia ataupun makhluk halus yang
mempunyai keistimewaan tertentu. Kata atau istilah Semar adalah
penokohansuatu predikat untuk seseorang yang mempunyai sifat pamomong.
Maka dalam hal ini kecuali makna predikat, Semar juga mengandung makna
sifat didalam predikat itu. Dari kedua makna ini maka kapan saja dan
dimana saja ada tokoh Semar dalam arti kapan saja dan dimana saja ada
tokoh yang mempunyai sifat pamomong.
Maka
apabila ada seorang dukun yang pada waktu melayani pasienya lalu
tertawa ngakak sambil menuding-nudingkan jarinya seperti layaknya Semar
didalam pewayangan, sesungguh hal yang dilakukan itu sesuatu yang
menggelikan. Walaupun dukun itu banyak penganutnya dan sebagian ada yang
menganggap bahwa dukun itu konon kesinungan Semar, itu hanyalah isapan
jempol belaka, apabila mengacu pada uraian diatas. Agaknya Sang Dukun
pura-pura kesinungan Semar, dengan maksud untukmenumbuhkan citra dan
menambah kharisma.
Apalagi
bila kita membaca Kitab Purwa Carita didalam episode atau lakon
Lahirnya Ismoyo. Syahdan saat itu di Kahyangan Alan-alang Kumitir tempat
bertahtanya Sang Hyang Wenang, ada kejadian yang sangat aneh. Ada
sebutir telur besar yang berputar-putar seperti mengelilingi orbit
tertentu dan berjalan terus tanpa henti. Kemudian telur itu dapat
ditangkap oleh Hyang Wenang selanjutnya dibanting. Maka pecah berantakan
telur tersebut.
Namun
aneh bin ajaib, telur yang pecah berantakan itu menjelma menjadi tiga
Ksatria tampan. Oleh Hyang Wenang, ksatria pertama yang berasal dari
cangkang telur, diberi nama Antaga dengan sebutan Hyang, pada waktu
berada di alam kedewataan. Setelah turun ke bumi bernama Togog yang
bertugas momong para ksatria dari seberang. Yang dimaksud adalah manusia
yang sudah menyeberang dari kaidah keTuhanan. Antaga diturunkan kebumi
karena dianggap bersalah pada waktu masih dialam kedewataan.
Ksatria
kedua yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya. Yang karena
kesombonganya berdua dengan Antaga mengadakan sayembara menelan gunung.
Antaga yang tadinya tampan karena berupaya menelan gunung, sampai-sampai
mulutnya menganga dan nyaris sobek bibirnya sampai kedua pipinya, namun
tidak berhasil. Sedang Ismoyo berhasil menelan akan tetapi tidak
berhasil memuntahkanya kembali, sesuai dengan aturan main yang
disepakati. Akhirnya gunung itupun anjlog sampai kepantat dan berhenti
sampai disitu.
Sayembara
yang sebelumnya tidak diketahui oleh Hyang Wenang itu hanya atas
kesepakatan antara Antaga dan Ismaya saja. Maka setelah mengetahui
kesudahan dari kesudahan dari sayembara itu, keduanya dianggap tidak
dewasa dalam arti dewa dalam rasa. Maksudnya belum dapat memaki perasaan
sebagaimana para dewa. Untuk itu mereka berdua dipersalahkan dan diberi
hukuman turun kebumi dan untuk Ismaya diberi nama Semar.
Sedang
ksatria ketiga yang berasal dari kuning telur dan dianggap si bungsu
diberi nama Manik Maya, yang dinobatkan menjadi Raja Para Dewa yang
bertahta di Junggring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa dengan diberi
gelar Hyang Jagad Giri Nata yang juga disebut Batara Guru. Disamping
itu dikodratkan dapat mempunyai keturunan, sebab memang berasal dari
kuning telur yang mengndung zat hidup. Sedangkan Antaga si cangkang dan
Ismaya si putih tidak mempunyai keturunan.
Apabila
ditarik pesan-pesan kefilsafatan dari lakon lahirnya Ismaya maka dapat
dikatakan bahwa oknum dukun yang memproklamirkan dirinya sebagai yang
kesinungan Semar, sangatlah tidak mungkin. Sebab secara nalar cerita,
Semar tidak pernah dilahirkan, tidak pernah menitis dan yang lebih
pentinguntuk diketahui Semar dan tokoh-tokoh pewayangan yang lain,
hanyalah gambaran perilaku dan peri kehidupan manusia. Karena wayang
artinya baying-bayang atau gambaran yang harus dikaji dan diamalkan isi
ajaran yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakonya.
HYANG RATU RETNO DUMILAH
Tokoh
ii dikisahkan sebagai penjaga “GEDONG CEPUK” yang koon berisi harta
benda tak terhitung jumlahnya. Sebagai yang menjabat penunggu dan
pembagi harta benda kerajaan, sepertinya tidak mungkin apabila
dipilihkan tokoh dari kalangan luar istana. Diduga beliau adalah putrid
Prabu Sanjaya dari istri Dewi Nawang Wulan, yang tidak lain adalah Dewi
Nawangsih. Dimana sasana gaibnya berada di pojok barat laut di kaki
Gunung Srandil, tepatnya pada batu yang tampak terbelah.
Ditempat
inilah yang nyata-nyata mempunyai keajaiban secara fisik. Pada tahun
delapan puluhan, saat penulis pertama kali ke Gunung Srandil batu belah
itu masih sekitar setengah meter tingginya dan besarnya kira-kira
seukuran bakul nasi. Akan tetapi sekarang (tahun 2000) tingginya sudah
dua meter lebih dan besarnya melebihi gajah dewasa. Jadi batu yang
sewajarnya ajeg besarnya, tidak demikian dengan batu belah itu.
Dari
kenyataan itu dapat ditarik simpul nalar secara metafisik, sedangkan
batu saja bisa tumbuh dan berkembang apalagi kehidupan manusia. Mungkin
didalam itu semua mengandung pesan, barangsiapa ingin tumbuh
kehidupanya, harus berupaya tanpa henti dan memohon kepada Tuhan untuk
memperoleh ridhaNya dengan bersungguh-sungguh dan menumbuhkan daya
kreatifitas secara ajeg berusaha.
HYANG LANGLANG BUWANA
Menurut
perkiraan penulis, tokoh ini adalah Jaka Tarub, dimana pada waktu
mempunyai rencana menjadi raja, melakukan pengembaraan keseluruh pelosok
negeri dalam rangka konsolidasi dan penggalangan massa.
Mulai dari rakyat sampai dengan pejabat semua dihubungi, agar apabila
dia berhasil menjadi raja kelak, mendapat dukungan dari seluruh lapisan
masyarakat. Karena pengembaraannya itulah beliau mendapat gelar Hyang
Langlang Buwana. Dan sudah menjadi kebiasaan Orang Jawa, sering
mempunyai banyak nama atau alias yang juga disebut Dasa Nama.
HYANG SUKMA SEJATI
Tokoh
ini juga masih kerabat Prabu Sahanjaya, mungkin masih pamannya yang
diberi tugas mengatur tatanan keagamaan dan olah spiritual lainya.
Karena memang tokoh ini piawai didalam hal kasuksman atau ketuhanan,
baik melalui jalur keagamaan maupun jalur budaya spiritual atau
kebatinan.
Beliau
terbiasa bertapa dan laku samadi dan terkenal tahan dan kuat di dalam
olah tapa dan samadi, maka disebutkan beliau mempunyai indera keenam
yang sangat tajam. Tokoh ini juga diserahi merawat benda-benda pusaka
dan barang-barang spiritual milik kerajaan. Dan konon tokoh inilah yang
mempunyai ilmu Pemecah Jasad. Diceritakan bahwa beliau dapat memecah
jasadnya menjadi lima orang, maksudnya apabila dia melakukanya, akan tampaklah lima orang kembar.
HYANG WURUNG GALIH
Tokoh ini juga kerabat Kerajaan Mataram yang diserahi tugas menjaga keamanan wilayah ibu kota
dan juga bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman keluarga
raja, agar pengaruh-pengaruh jelek baik yang bersifat nyata ataupun maya
tidak menimpa keluarga raja untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak
diingini, yang berasal dari wangsa lain, yang diduga akan merebut
tahta. Maka boleh dikatakan bahwa tokoh ini ahli di bidang olah
kanuragan atau ilmu kekebalan dan ilmu kebatinan yang lain.
Al
kisah, Hyang Wurung Galih dikaruniai umur panjang, bahkan dia bisa
bertahan hidup sampai jaman wali, dan sempat menjadi guru dali salah
satu wali, yaitu Syekh Jakfar Sodiq yang disebut juga Sunan Kudus. Pada
waktu menjadi guru dari Sunan Kudus, dia bernama Ki Selingsing yang juga
bergelar Ki Ageng Pasir atau Hyang Kumala Yekti, yang konon makam
beliau berada di pesisir Laut Kidul, dekat Gunung Srandil.
KI PAKU WAJA
Di
sebelah selatan kaki Gunung Selok, ada gua kecil di tepi sungai yang
bernama Goa Paku Waja. Dikatakan demikian karena merupakan petilasan
pertapaan Ki Paku Waja. Tokoh ini tidak mempunyai hubungan kekerabatan
dengan Prabu Sahanjaya. Akan tetapi berkat kejelian pengamatan mata
batin Sang Prabu, yang dapat melihat cahaya gaib yang bersinar kuat yang
memancar keluar dari ubun-ubun Ki Paku Waja, yang sedang bersamadi di
gua itu. Pancaran cahaya gaib itu adalah pertanda bahwa beliau berilmu
tinggi dan mempunyai kewicaksanaan yang linuwih.
Beliau
disebut Ki Paku Waja karena memang mempunyai sebuah paku yang terbuat
dari baja yang ditancapkan di batu cadas pada goa tersebut sehingga
mengeluarkan air yang menetes tiada henti dan mengandung karat.
Air
dari cadas itu menetes terus menerus dan tertampung didalam lubang
dengan ukuran kurang lebih 700 liter yang disebut Sendang Paku Waja.
Namun
nama sebenarnya dari tokoh ini adalah Ki Guwarsa, yang konon berasal
dari Hindia Belakang. Datang ke Jawa kira-kira 400 tahun sebelum masehi.
Beliau berhasil bertahan hidup sampai menjelang berdirinya Kerajaan
Mataram Kuna, karena memang dianugerahi umur panjang dan awet muda.
Ceritanya dia bertapa di Goa Paku Waja beratus tahun lamanya.
Menurut
kepercayaan, Ki Guwarsa adalah manusia yang mempunyai berbagai macam
kelebihan, antara lain ilmu dibidang kenegaraan, hukum, ketuhanan,
kesaktian, dan mampu menjadi guru para empu.
Al
kisah, Prabu Sahanjaya beserta kerabat calon pejabat kerajaan yang
sedang mempersiapkan pendirian Kerajaan Mataram, semuanya berguru kepada
Ki Paku Waja. Dan dari dialah jaka Tarub dan rombonganya mendapatkan
berbagai ilmu yang dapat digunakan sebagai modal pendirian sebuah
kerajaan.
Lalu
bagaimana halnya dengan Ki Paku Waja yang dimakamkan di Kaliwungu
Kabupaten Kendal? Yang juga merupakan tokoh legendaris diwilayah itu.
Mungkin dia ditokohkan sebagai mana Ki Paku Waja Selok, mungkin karena
dianggap mempunyai berbagai ilmu linuwih pada jamanya. Hal semacam itu
oleh Orang Jawa dinamakan nunggak semi dengan Ki Paku Waja. Yang artinya
memiripkan diri dengan tokoh idolanya.
Menurut
perhitungan jaman, antara Ki Paku Waja Gunung Selok dengan Ki Paku Waja
Kaliwungu, tidak mungkin pernah bertemu, karena Ki Paku Waja Kaliwungu
hidup pada jaman terakhir Wali Sanga, yang diperkirakan sekitar abad
XVII.
Akan
tetapi kemungkinan bisa saja terjadi, dapat bertemu dan berguru dengan
Ki Selingsing, sesudah Syekh Jakfar Sadiq, dan nama Paku Waja untuk
tokoh legendaris Kaliwungu, diberikan oleh Ki Selingsing. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa diantara Para Wali dan tokoh legendaris
di Gunung Srandil, masih kalah tua dengan Ki paku Waja. Sampai pun
dengan Kaki Tunggul Sabda Jati Daya Among Raga, yang di percaya sebagai
tokoh pamomong dengan memiliki sifat-sifat Semar. Karena yang di Srandil
disebut sebagai kaki itu sebenarnya adalah Jaka Tarub.
HYANG CAKRA WANGSA atau Pak Cilik Cakra Wangsa
Mungkin
tokoh ini paman dari Prabu Sahanjaya yang diberi jabatan sebagai Carik
Negara atau menurut istilah sekarang mungkin Menteri Sekretaris Negara.
Cakra Wangsa juga mempunyai keahlian memantau keberadan “Wahyu Keprabon”
atau Wahyu Kerajaan. Hyang Cakra Wangsa mempunyai adik kandung yang
juga mempunyai keahlian yang hampir sama dengan kakaknya, beliau adalah
Hyang Sukmaya Rengga.
HYANG SUKMAYA RENGGA
Dua
orang kakak beradik ini diberi jabatan hampir sama. Kalau Cakra Wangsa
adalah Carik Nagara maka Sukmaya Rengga adalah Carik Jero atau kalau
jaman sekarang mungkin adalah Menteri Sekretaris Kabinet. Kedua kakak
beradik inilah yang paling akrab dengan Sang Prabu Sahanjaya, semenjak
masih Jaka Tarub dalam semua kegiatanya. Lebih-lebih didalam
mengupayakan serta memperoleh Wahyu Keprabon. Walaupun kedua orang ini
sebagai pengikut namun apa yang menjadi petunjuk dan pengarahanya selalu
dituruti oleh Jaka Tarub.
Sementara
menjadi Carik Negara dan Carik Jero atau Carik Praja, kedua orang ini
bernama Ki Sabdo Palon dan Ki Naya Genggong, yang petilasanya terletak
di luar Bangunan Pertapan Jambe Lima. Sedang setelah menjadi Carik
Negara dan Carik Praja, pada masa tuanya menjadi pendeta dan petilasanya
kira-kira berada di Pertapan Jambe Lima.
HYANG LENGKUNG KUSUMA
Tokoh
ini tak lain adalah putra sulung dari Hyang Sukmaya Rengga. Pada masa
hidupnya mempunyai keahlian dibidang tata negara dan seni budaya, serta
menguasai ilmu hukum kenegaraan dan terkenal pandai berbicara dan
bijaksana.
HYANG LENGKUNG SWIRI
Beliau
ini adalah adik kandung Hyang Lengkung Kusuma yang berarti anak kedua
dari Hyang Sukmaya Rengga. Tokoh ini mempunyai keahlian yang sangat
mirip dengan kakak kandungnya.
HYANG WISNU MURTI
Tokoh
ini adalah anak bungsu dari Hyang Sukmaya Rengga yang juga mempunyai
keahlian yang mirip dengan kedua kakaknya. Hanya saja si bungsu ini
lebih menonjol dan lebih pintar serta bijak, bila dibandingkan dengan
kedua kakaknya. Maka lalu diberi jabatan sebagai Pangarsa atau Ketua
Dewan Sapta Prabu atau apabila disebut dengan istilah sekarang mungkin
mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung, yang bertugas memberi nasihat
kepada raja dan beranggotakan tujuh orang.
Para
putra dari Hyang Sukmaya Rengga, ketiga-tiganya menduduki sasana gaib
di Pertapan Jambe Pitu, kira-kira letaknya didalam lingkungan pertapaan.
Adapun yang menduduki sasana gaib diluar Pertapan Jambe Pitu adalah
Hyang Jepen.
HYANG JEPEN
Pada
masa hidupnya tokoh ini mempunyai keahlian dibidang pertanian,
diplomasi dan piawai mencari akal untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang timbul. Kesukaanya mengembara, maka dari itulah beliau sangat
jarang berada di dalam negeri sendiri. dan setelah tua dan menjadi
pendeta, digambarkan tempat pertapaanya berada diluar bangunanya.
Tepatnya diujung selatan bangunan Pertapan Jambe Pitu.
Selain
dikenal sebagai tokoh yang nganeh-anehi atau eksentrik, beliau sering
diminta bantuan oleh negara asing untuk mengatasi masalah kenegaraan.
Selain itu, beliau sangat piawai menjadi penengah dan pendamai apabila
ada beberapa negara yang sedang berselisih.
Mungkin
apabila beliau hidup dijaman sekarang, pantas menduduki jabatan di PBB
atau forum internasional lainya atau pantas menjadi penasihat antar
kedutaan besar. Sebenarnyalah tokoh ini yang pantas menduduki jabatan
sebagai Ketua Dewan Sapta Prabu. Akan tetapi karena beliau jarang sekali
berada dinegaranya sendiri, maka jabatan itu lalu diserahkan kepada
Hyang Wisnu Murti.
Keenam
dari tujuh anggota Dewan Sapta Prabu adalah Hyang Wisnu Murti, Hyang
Lengkung Swiri, Hyang Lengkung Kusuma, Hyang Sukmaya Rengga, Hyang Cakra
Wangsa, Hyang Jepen dan yang ketujuh adalah Ibu Suci Rahayu.
IBU SUCI RAHAYU
Yang
tidak lain adalah Ibu Suri dan menduduki sasana gaib di Goa Suci
Rahayu, tepatnya didepan pintu goa. Karena dari tujuh orang anggota
Dewan Sapta Prabu hanya beliau yang berjenis kelamin perempuan, maka
dapatlah diduga yang menjadi keahlianya. Beliau adalah wanita sejati
yang piawai mencari jalan keluar atas masalah kenegaraan, yang lebih
khusus lagi masalah kewanitaan. Sedangkan yang menduduki sasana gaib di
dalam Goa Suci Rahayu adalah Ibu Ratu Sri Kencana Wati.
IBU RATU SRI KENCANA WATI
Beliau
ini tak lain adalah Putri Raja Sanjaya yang dilanda kecewa berat,
karena beliau dilahirkan sebagai wanita. Dia kecewa karena merasa
terlahir tidak memenuhi harapan ayahandanya, yang senantiasa terlahir
anak laki-laki, dengan harapan kelak dapat menggantikan tahta dari
ayahnya. Ibu Ratu Sri Kencana Wati ini lahir dari istri raja sebagai
permaisuri yang bukan Dewi Nawang Wulan.
Atas
kekecewaan dan dianggap sangat mengecewakan ayahnya itulah dia lalu
bersumpah akan menjalani tapa tidur sampai mati didalam Goa Suci Rahayu,
dengan ditunggui oleh Ibu Suri atau Ibu Suci Rahayu. Sampai sekarang
petilasnya dapat diketemukan berupa sebuah batu besar yang bentuknya
mirip orang dalam posisi tidur terlentang membujur kearah utara yang
terletak didalam Goa Suci Rahayu.
DI PERTAPAAN ADA APANYA
Kebanyakan
bagi yang sudah pernah berziarah ataupun laku lainya di
pertapaan-pertapaan atau petilasan-petilasan, didalam batin mereka ada
semacam pertanyaan seperti tertulis pada sub judul diatas. Pertanyaan
tersebut sebetulnya wajib deberi jawaban, kalau bisa dengan jawaban yang
masuk akal dan jelas apabila tidak bisa paling tidak harus ada
keterangan yang mendekati penalaran yang mapan.
Sebab
apabila mengikuti kegiatan wisata spiritual, hanya sekedar ikut-ikutan
saja, menurut saja dan sekedar mengekor kepada yang sudah pernah kesana
atau kepada juru kunci, diawali dengan serta merta saja hanya sekedar
tertarik karena cerita orang atau sekedar terpengaruh ajakan teman,
kenalan atau famili yang konon sudah berhasil memperoleh ketenangan
hidup, itu semua rasanya kurang afdol.
Padahal
pertapaan biasanya tempatnya jauh dari tempat tinggal masing-masing
maka sudah barang tentu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan
menghabiskan waktu serta tenaga. Maka ditengah proses ritual,
mengorbankan uang, waktu dan tenaga serta menimbulkan kantuk.
Menurut
pengalaman penulis, pertapan, petilasan dan tempat peziarahan lain yang
dianggap keramat, biasanya mempunyai nilai lebih, berupa:
Tempatnya Asri
Terkesan
agak sepi, udaranya segar mengenakkan dan layak dipergunakan untuk
wisata alam maupun budaya. Karena pemandangan alamnya biasanya indah dan
alami. Keadaan yang seperti itu biasanya menenangkan hati dan
menentramkan batin.
Padahal
setiap orang membutuhkan hiburan yang menimbulkan rasa senang, damai
dan tentram, agar hilang rasa keruwetan-keruwetan yang melelahkan dalam
kegiatan sehari-hari yang membosankan yang kadang-kadang menimbulkan
ketegangan pikiran.
Maka
diharapkan setelah melakukan wisata, apalagi wisata spiritual, minimal
beban pikiran menjadi lebih ringan. Apabila beban pikiran sudah terasa
ringan, pada giliranya dapat memulai segala rencana dan melangkah pada
pelbagai kegiatan yang menuntut prakarsa, tenaga dan kesiapan batin,
agar dapat membuat prestasi yang selama ini belum bisa diraih, beserta
kewajiban yang akan disandang, semua itu harus dilaksanakan dengan penuh
semangat dan percaya diri.
Keramah Tamahan
Orang-orang
yang mengadakan lelaku dan para peziarah lainya, sikapnya pada sesama
peziarah, sepertinya ada semacam pengikat kebersamaan yang erat, yang
memberi kesan rasa menyatu didalam laku prihatin, satu didalam niat dan
derita hati. Diantara mereka dapat berkomunikasi dengan penuh keakraban
bagaikan kenalan yang sudah lama bergaul. Tak segan-segan diantara
mereka memberikan petunjuk dan sumbang saran untuk mengatasi kesulitan
hidup. Komunikasi dan pembicaraan berlangsung dengan keramah-tamahan
yang akrab. Malah didalam kegiatan pertapaan atau semacamnya tidak
menutup kemungkinan dapat bertemu kenalan yang dapat memberikan petunjuk
mengatasi permasalahan-permasalahan kita ataupun sebaliknya.
Kebanyakan
dari orang-orang yang sering merambah pertapaan, jarang ada yang
memiliki sikap yang terkesan sangar dan angker. Sebaliknya sikap malah
selalu akrab dan bersahabat, sopan, murah senyum, mudah memberikan
pertolongan dengan penuh rasa asah, asih dan asuh. Dari rasa asah dapat
diperoleh hasil dari tukar pengalaman dan wawasan. Dari rasa asih dpat
membuka kodrat kesucian manusia yang cenderung saling mengasihi. Dan
dari rasa asuh sama-sama bisa memberi dan menerima rasa aman dan
mengamankan sesamanya.
Kesan Sakral dan Spiritual
Kesan
sakral dan spiritual selalu dirasakan dan dialami ditempat peziarahan,
karena memang kesanya terasa angker dan menakutkan. Dengan demikian cara
melakukan kegiatan spiritual sudah barang tentu diperlukan pemaksaan
diri dengan khusuk dan hening yang sungguh-sungguh. Sebab sepertinya
sudah menjadi kodrat atau kesan psikologis, manakala seseorang dirundung
rasa takut dan ngeri, orang tersebut akan patuh dan bersungguh-sungguh
dalam menjalani suatu perintah atau tuntunan tertentu.
Dengan
kesan sakral dan spiritual pada akhirnya yang dirasakan dihayati
hanyalah keberadaan Tuhanlah tempat meminta pertolongan. Suasana
demikian itu apabila ditambah dengan keadaan yang sepi dan menentramkan
seperti dikatakan diatas, rasa perasaan ini sepertinya selalu dekat
dengan Tuhan. Dan dapatlah dipedomani bahwasanya mendekat dan “melihat”
keberadaan Tuhan seharusnyalah dengan ketenngan hati yang jauh dari
dengki.
Mengurangi Kebiasaan
Dipertapaan
tidak seperti di tempat tinggalnya sendiri. bagi yang biasanya dirumah
selalu dilayani, dipertapaan terpaksa harus mengurus diri-sendiri. yang
terbiasa hidup dalam kemewahan dan berkecukupan, dipertapan fasilitasnya
serba terbatas. Yang biasanya selalu ingin cepat dan terburu-buru
disitu terpaksa tidak dapat bertindak egois, karena harus menghormati
peziarah lain, misalnya diwarung, pelayanan mandi, cuci dan kakus harus
antri dan sebagainya. Dengan keadaan demikian diharapkan akan
menimbulkan kesadaran bahwasanya manusia sama derajatnya dihadapan
Tuhan, yang membedakan hanyalah kesucian pikiran, perkataan dan
perbuatannya kepada Tuhan, sesama dan alam sekitarnya.
Ada Daya Lebih
Daya
lebih yang dimaksud apabila disebut dengan bahasa sekarang adalah daya
yang berasal dari gelombang getaran elektromagnet dari badan seseorang
atau gampangnya dinamakan bio elektrisitet. Getaran gelombang ini timbul
karena laku dari para tokoh legenda dimasa lalu, ketika melakukan tapa,
samadi dan melakukan ritual lainya, yang menggunakan daya hening cipta
tingkat tinggi, hingga mampu mengeluarkan energi gelombang kekuatan
prana, dengan menggunakan daya alam beserta daya pribadinya yang saling
mengisi, maka terbentuklah kekuatan supranatural yang bersirkulasi
secara simultan antara manusia, alam dan gaibnya Tuhan.
Dari
proses ini menimbulkan daya berupa getaran energi yang karena proses
sirkulasi tadi, kemudian energi tersebut menempel pada tempat dimana
kegiatan ritual itu dilakukan. Dan penempelan daya itu tidak akan hilang
selamanya, berdasarkan hukum alam bahwasanya zat dan energi tidak dapat
dimusnahkan, biasanya hanya bersirkulasi melalui proses sikel dan daur
ulang.
Berdasarkan
keterangan diatas maka antara pertapaan dan petilasan, kiranya yang
banyak mengandung tilas daya lebih adalah petilasan. Namun secara efek
psikologis, lebih baik yang berupa makam, karena terkesan disanalah
bersemayam jasad dari tokoh legenda. Dari itulah petilasan yang
sebenarnya bukanlah suatu makam atas jasad tokoh tertentu, lalu
direka-reka sepertinya makam sungguhan. Seperti halnya tokoh Syekh
Maulana Maghribi yang makamnya ada dimana-mana.
Pada
akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang dapat mengajarkan
pembudidayaan getaran rasa sejati berupa perguruan ilmu kontak
persilatan tenaga dalam, senam tenaga batin dan sebagainya. Walaupun
bobot dan kualitasnya belum tentu dapat menyamai dengan daya yang
dihasilkan oleh para tokoh tempo dulu, namun kiranya hal itu dapat
dijadikan bukti bahwa getaran rasa sejati dapat dibudidayakan oleh siapa
saja yang mau, terlepas untuk apa hal tersebut dimanfaatkan.
Tata Cara Ziarah Ke Makam
Di depan pintu pertapan:
“Hong amit tabik sekalian pasang keparengo marak sowan ing ngarsanipun………….”
Meletakkan sarana (bunga dsb.):
“Keparengo putro caos bekti, lepat kekiranganipun nyuwun pangapuro.”
Dupa/kemenyan:
“Hong
wilahing jatimas tumono sidam sekaring bawono langgeng prapenku selo
petak dupoku dupo mulyo guyuhno kamulyan ingsun, tak jaluk rilamu siro
sun obong kukusmu mumbul ngawiyat ing ngarsaning GUSTI INGKANG MOHO SUCI
tumurun dumateng……………”
Bakar dupa/kemenyan (sebelum akan dibakar):
“Hong hagni suci sucekno kamulyan ingsun, mulyakno kasucen ingsun, urupno uriping kawicaksanan ingsun.”
Ngesti:
“Hong
sumujud ngarso dalem Gusti Ingkang Moho Suci, sumungkem ngarso
dalem……………… Sembah sedoyo panelongso dalah panjangka ingsun nyuwun
tambahing berkah pengayoman. Sedoyo panelongso nyuwun usodho, sedoyo
panjongko nyuwun sembodo. Berkah nyuwun limintuning rejeki ingkang agung
rahayu, pengayoman nyuwun slamet sak rakyat sak bandane. Kerso saking
kuasane:”
KUNCI
“Gusti
Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho
Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito nyuwun
wicaksono nyuwun panguwoso kangge tumindake Satrio Sejati. Kulo nyuwun
kangge hanyirnaaken tumindak ingkang luput.”
PAWELING
“Siji-siji Loro-loro Telu-telonono,
Siji sekti loro dadi telu pandito,
Siji wahayu loro rejeki telu gat’rahino.”
SINGKIR
“Gusti
Ingkang Moho Suci kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho
Suci. Sirolah Datolah Sifatolah. Kulo Sejatining Satrio/Wanito hananiro
hananingsun wujudiro wujudingsun, siro………………(reruwet rubedo) sirno mati
dening Satrio/Wanito Sejati ketiban iduku putih sirno layu
dening……………(Asma Sejati)”
MIJIL
“………..(Asma Sejati) jeneng siro mijilo, panjenengan ingsun kagungan karso arso…………….(niat pribadi).”
Ngalap berkah:
“Gusti Hyang keparengo putro ngalap berkah (*kangge mberkahi) ngukup pengayoman (*kangge ngayomi).”
*.Tambahan untuk yang telah Hasamun Pinandito
Ngukup dupa:
1. “Purbaning Gusti wasesaning Sari”
2. “Purbaning Sari wasesaning Gusti”
3. “Purbo wasesaning Satrio/Wanito Sejati”
Pamit:
“Gusti
Hyang cekap atur kawulo berkah kulo tampi pengayoman kulo suwun.
Keparengo madal pasilan paduko, nyuwun tansah tinuntun, lepat
kekiranganipun nyuwun pangapuro.”